Langsung ke konten utama

Kiai Sholeh : Keutamaannya Shalat Jamaah




Woks

Di malam nisfu sya'ban kali ini kami para santri mendapat petuah luar biasa. Barangkali pesan ini adalah terusan dari bulan rajab kemarin. Beliau memberi pesan berupa pentingnya shalat berjamaah.

Kata beliau jika ada shalat jamaah jangan tinggalkan eman-eman waktunya. Sebab kehilangan uang tidak lebih berharga daripada kehilangan jamaah. Uang bisa dicari, uang bisa pinjam tapi kehilangan jamaah tak ada gantinya.

Sampean kudu berjamaah sebab dengan jamaah insyaallah masalah akan selesai. Fadhilahnya jamaah itu luar biasa. Jika pun kita berada di belakang akan tetapi berjamaah itu sama saja dinilai besar pula keutamaannya. Maka dari itu ayo semua berjamaah karena ini adalah tuntunan para ulama salaf.

Tolong berjamaah ini jangan sampai dibuat mainan. Jamaah adalah satu dari sekian amal yang luar biasa maka dari itu jangan disepelekan. Sebisa mungkin bangun jamaah terutama di waktu shubuh. Kita sudah besar jadi jangan sampai menunggu dioprak-oprak karena jamaah ini adalah kewajiban.

Di pondok selain ngaji tentu selalu diingatkan tentang jamaah. Karena jamaah itu mahal harganya. Jaga dengan sebaik-baiknya jamaah ini karena belum tentu kita bisa menjaganya terutama ketika sudah di rumah. Bahkan masih ada santri yang ironis meninggalkan shalat.
 
Mengapa shalat berjamaah begitu penting? karena apa yang akan menjadi bekal kita selain amal tersebut. Bayangkan apa amal kita atau jika kita tak punya amal, sungguh shalat jamaah itulah yang paling besar. Shalat berjamaah secara istiqamah dapat melunturkan dosa. Jadi ketika hati sudah bening maka Allah sangat mudah memberi futuh kepada kita.

Berkaitan dengan hal itu beliau bercerita dulu ada seorang santri yang khidmah di Pondok Jampes. Orang tersebut selama di pondok hampir tidak pernah ngaji akan tetapi amaliyah shalat jamaah tidak pernah ditinggalkan. Hingga suatu hari berkah jamaah anak keturunannya banyak yang alim-alim. Nah, kealiman itu kadang dimaknai dengan tidak tepat yaitu laduni. Akan tetapi rerata orang mengartikan laduni itu tidak belajar sama sekali dan itu salah besar. Tidak ada laduni tanpa belajar. Jadi Imam Ibnu Malik pengarang Alfiyah sudah sejak lama mengingatkan bahwa ilmu laduni bisa diperoleh hanya lewat belajar.

Jika dalam jamaah ada satu saja orang yang hadir kepada Allah maka yang lain akan mendapat pula fadhilahnya. Kalau banyak anak kecil berisik tak usah dimarahi itu adalah kehendak Allah agar kita kuat atau tidak. Jika orang telah hadir kepada Allah niscaya suara-suara apapun tak akan masalah. Karena kehadiran hati saat jamaah akan selalu berkaitan dengan tasawuf. Perlulah kita juga belajar menghadirkan hati kepada Allah.

Demikianlah pesan singkat beliau. Walaupun singkat akan tetapi terasa dalam maknanya. Pesan tersebut ibarat hujan yang mengguyur tanah gersang. Matursuwun Abah.

the woks institute l rumah peradaban (malam nisfu sya'ban 15/8/1443 H)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde