Langsung ke konten utama

Prof. Naim : Sang Intelektual Santri




Oleh : Woko Utoro*

Di awal tahun kembar ini barangkali menjadi kado spesial buat civitas akademik Kampus Dakwah & Peradaban UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Pasalnya kampus ini menambah kembali guru besarnya yang ke-20, yaitu beliau Prof. Dr. Ngainun Naim, M.HI. Saya secara pribadi tidak begitu euforia mendengar kabar tersebut karena beliau Pak Naim (sapaan akrabnya) sudah menjadi Profesor sejak di alam pikiran. Bahkan gelar "Guru Besar Literasi" sudah tersemat semacam penghargaan Honoris Causa kultural dari para murid dan koleganya sebelum SK guru besar itu turun.

Pak Naim yang sering memanggil kami dengan istilah "Kawan-kawan" itu memang sudah tidak asing baik di telinga maupun anggota tubuh yang lain. Apalagi jika dikaitkan dengan dunia baca tulis barangkali beliau lebih mashur ketimbang gelar akademiknya saat ini. Awal perkenalan saya dengan beliau adalah ketika di S-1 jurusan Tasawuf Psikoterapi (dulu) masih IAIN Tulungagung. Beliau mengampu mata kuliah di filsafat ilmu dan menjadi spesialisasinya hingga menjadi guru besar.

Perkenalan saya yang kedua tentu lewat tulisan-tulisan beliau di antaranya, Buku Menipu Setan (2009), the Power of Reading (2013), the Power of Writing (2015), Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017) dan lainya. Kata Pak Naim lewat bukulah barangkali menjadi jembatan komunikasi antara pembaca dan penulisnya walaupun belum pernah bersua sebelumnya. Bagi Pak Naim buku adalah cara kita untuk meminjam pikiran penulisnya dengan begitu kita tidak merasa sendiri dan kesendirian itu hanya dimiliki jomblo. Begitulah kadang guyonan beliau yang sesekali muncul dalam sesi perkuliahan.

Perkenalan saya yang ketiga yaitu bertemu lagi dengan beliau pada perkuliahan Pascasarjana jurusan Studi Islam. Beliau mengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam untuk sesi yang pertama. Penyampaian yang runtut dengan penjelasan yang mudah dipahami barangkali menjadi point mengapa banyak mahasiswa yang nyaman dengan beliau. Beliau sangat sadar bahwa mahasiswa jangan diberi pemahaman yang melangit dan berbelit-belit cukup berikan sesuatu yang sederhana agar mereka bisa mencerna. Karena semakin tinggi penjelasan maka semakin membingungkan mahasiswa.

Jika ditanya apa menariknya selama menjadi anak ideologis beliau ketika di kampus atau organisasi. Tentu setiap orang punya pengalaman soal ini apalagi ketika di perkuliahan pasti beliau menyuruh mahasiswanya untuk menulis, menulis dan menulis. Jika ingin pintar perbanyaklah baca, jika ingin pandai menulis, menulislah tiap hari dan syarat utamanya adalah lewat membaca. Sesederhana itu ajakan beliau pada kami dan kita mahasiswanya yang selalu berat melaksanakan ajakan tersebut.

Yang menarik dari beliau secara personal tentu beliau tipikal orang yang humoris plus berilmu. Jadi sekalipun guyon beliau tidak menghilangkan kesan keilmuannya. Secara intelektual saya sangat tertarik dengan beliau karena rendah hatinya. Saya berani mengatakan beliau adalah intelektual santri, bukan santri yang sok-sok an intelek. Walaupun saya belum pernah melihat beliau pakai sarung yang jelas alumnus Denanyar Jombang itu sangat ta'dhim terhadap guru dan almamaternya. Beliau sudah intelek sejak kecil karena penempaan yang ulet dari bapaknya.

Dalam banyak kesempatan Pak Naim tidak pernah gengsi selalu merujuk apa yang dikatakan gurunya, baik guru secara biologis (bapak ibu), ideologis (kiai, dosen, sesepuh) hingga guru literatur (kitab, buku, koran). Misalnya beliau sering mengutip perkataan The Liang Gie, Pak Hernowo Hasyim, Prof. Mujamil Qomar, hingga orang biasa yang selalu beliau anggap luar biasa. Dalam hal ini kiai, ibu dan utamanya bapak beliau telah mengilhami banyak pemikiran hingga hari ini. Mungkin itulah segelintir tradisi sanad keilmuan yang sering beliau praktekan dalam gaya mengajarnya.

Prof. Mujamil Qomar barangkali satu dari sekian guru beliau yang banyak mengilhami pemikirannya selain bapak beliau sendiri. Salah satu hal yang selalu beliau ikuti adalah tradisi membaca dan menulisnya. Pak Naim juga menjadi sosok yang rakus membaca dan rajin mencatat, misalnya seperti Prof. Mujamil dengan tradisi mencatat selama dalam perjalanan di dalam angkutan umum. Satu hal lagi yaitu produktivitas dalam berkarya utamanya menulis buku.

Pak Naim memang memang rendah hati percis seperti akhlak para santri. Beliau jika diminta oleh almamaternya selama tidak bentrok jadwal pasti akan menyanggupi. Katanya ini bentuk khidmah seorang santri kepada almamaternya. Bahasa beliau yaitu gondelan sarung kiai. Maka dari itu sang intelektual santri tak akan pernah risau dengan segala kebisingan yang ada di alam nyata dan maya.

Barangkali demikianlah apa yang ditanam beliau kini tinggal menuai alias panen. Sudah banyak anak didik beliau yang juga mengikuti kiprahnya. Seperti halnya santri beliau bermain lewat jalur bawah sehingga orang-orang akar rumput seperti saya pun ikut terkena sentuhan lembut beliau. Pak Naim saya rasa sangat pantas mendapat semua hal ini. Beliau yang tekun itu memang layak dijadikan panutan oleh kita semua sebagai mahasiswa yang pernah terkena siraman pencerahannya. Selamat Prof. Naim, jejakmu membekas di hati kami.

Srigading, 7 Januari 2022

Biodata :
Woko Utoro biasa disapa Bang Woks merupakan mahasiswa Pascasarjana jurusan Studi Islam UIN SATU Tulungagung. Memiliki minat dalam dunia buku, pesantren, tradisi budaya dan keislaman. Kini ia mukim di the woks institute sebuah blog yang memuat tulisan receh yang dibinanya sejak 7 tahun lalu. Bisa dihubungi melalui surel woksma@gmail.com.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde