Langsung ke konten utama

Ngopi Seru : Bertemu dan Berilmu




Woks

Kemarin hari Selasa 22 Maret 2022 kami bisa bertatap muka untuk pertama kalinya dalam perkuliahan. Momen pertemuan tersebut sangatlah menyenangkan karena selama ini kita hanya bisa menyapa lewat ruang maya nan sempit itu. Kami bisa bersua di ruang 3 lantai 2 gedung Pascasarjana UIN SATU Tulungagung.

Setelah sekian lama hidup terbatas dalam perkuliahan online akhirnya pertemuan itu terwujud. Percis bagai ungkapan Eka Kurniawan seperti dendam rindu juga harus dibayar tuntas. Kali ini pertemuan pertama kita difasilitasi karena ada mata kuliah seminar proposal yang diampu oleh Kaprodi Studi Islam Ibu Dr. Nita Agustina.

Suasana dalam kelas ternyata tak ada bedanya seperti di ruang maya, sama-sama gayeng dan mencair. Tak ada ketegangan sama sekali di mana mayoritas mahasiswanya memiliki selera humor yang tinggi. Akhirnya di setiap kesempatan seisi ruangan selalu pecah dengan gelak tawa. Demikianlah kira-kira perkuliahan awal ini.

Walaupun formasi mahasiswa kali ini belum lengkap setidaknya untuk pertemuan awal termasuk bermakna. Salah satu yang membuat kita kaget tentu bisa melihat teman-teman secara asli. Ternyata aslinya dan yang di dalam ruang online sedikit berbeda bahkan guyonannya lebih baik di ruang online saja.

Waktu perkuliahan habis hingga senja tiba kami pun lantas bersembahyang magrib bersama. Setelah itu karena pertemuan awal kami pun mengatur rencana untuk ngopi bersama. Langsung saja setelah shalat kami menuju Angkringan Pule yang terletak di utara gedung Pascasarjana. Di sana kami memesan kopi hingga es jeruk, dari nasi bungkus hingga sundukan alias sate sosis.

Momen tersebut tentulah sangat hangat dan pastinya full senyum. Kami yang muda-muda mendapat cipratan pengetahuan dari para sepuh seperti Abah Sukirno dan Pak Kahar. Beliau berdua berkisah banyak bab akan hal-hal nan penting tapi disampaikan dengan tidak penting. Dalam banyak jagongan tersebut pembicaraan tak ada seriusnya sehingga kita tak kuasa menahan tawa.

Beberapa hal yang perlu saya catat di antaranya: pertama, kata Abah untuk mengatasi orang gila kita harus juga menjadi gila. Karena orang yang belum menikah sukar untuk memberi nasihat pra nikah kepada orang lain. Orang bukan dokter juga tidak prioritas jika bicara medis. Maka ahli atau pengalaman setidaknya yang mampu menjawab semuanya.

Bicara wong edan tentu kita ingat Gus Dur katanya dulu ada yang tanya,"Gus kenapa banyak anak kiai yang ambil jurusan psikologi?" Gus Dur pun menjawab,"karena banyak Nahdliyyin yang gila wkwk".

Kedua, untuk membahagiakan istri itu mudah katanya dengan cukup diberi uang. Intinya jika urusan dapur sudah beres berkaitan dengan apapun akan beres. Misalnya kalau istri tidak pernah ngaji beri saja tantangan jika mau ngaji nanti akan diberi 100 ribu. Jika nanti mau baca Qur'an 15 juz akan diberi 500 ribu, atau jika khataman ngaji maka akan diberi 1 juta bahkan lebih. Sehingga dari sana istri akan termotivasi walaupun aslinya uang belanja pasti sudah bagian dari prioritas suaminya.

Kata Abah mengapa harus uang? karena uang adalah hal yang selalu dipikir oleh perempuan. Hingga Pak Kahar pun menambahkan bahwa uang maqamnya berada di bawah Tuhan. Mungkin hierarkinya adalah Tuhan, uang, nabi, malaikat dll, kita pun tertawa. Dari pernyataan itu saya pun ingat pujangga bahwa yang selalu dipikirkan perempuan adalah: cinta, uang dan cemburu.

Ketiga, ada yang tanya bagaimana menghadapi istri di saat di mana kita ingin juga bebas misalnya ngopi dll. Lantas Abah sebagai pakar asmara pun menjawab: kita sebagai penganten baru itu harus sabar dan pengertian bahwa namanya masih baru itu harus belajar ngempet (nahan). Karena jangan sampai saling kekeh atau keras kepala antar satu dengan lainya. Suami istri apalagi masih baru sangat wajar lebih protektif bahkan sedikit posesif. Jadi disabari saja insyaallah seiring berjalannya waktu suasana akan mencair.

Keempat, apa pandangan Abah mengenai perempuan karir? ternyata beliau menjawab bahwa perempuan boleh menjadi apa saja asal ingat qudratnya sebagai istri. Kalau bisa istri tidak boleh melebihi suaminya. Tapi yang jelas pangkat setinggi apapun seorang istri jika di hadapan suaminya ia harus berbakti dan tidak boleh merendahkan. Istri di posisi apapun ia tetap makmum di belakang imamnya. Akan tetapi soal lainnya istri bisa sebagai sahabat di samping suaminya misalnya soal pendapat dll.

Kelima, buatlah komunikasi yang baik ketika di rumah. Jangan sampai kita tidak hangat bersama anak dan istri. Terutama soal hp kalau bisa berilah porsi lebih banyak berinteraksi dengan anak istri. Hp harus menjadi nomor dua agar terjalin harmonisasi di rumah. Barangkali rumah adalah awal sekaligus akhir. Rumah adalah pergi sekaligus pulang, berangkat sekaligus tempat kembali.

Beberapa hal yang telah disebutkan dalam catatan ini tentu menjadi bumbu sekaligus membawa kita berpisah. Entah esok atau kapan kita bersua kembali. Saya pribadi tentu berterimakasih atau ilmu dan traktirannya. Tentunya pesan-pesan ini sangat cocok buat kawula muda seperti saya. Sekian.

the woks institute l rumah peradaban 23/3/22


Komentar

  1. Tulisan nya bagus perlu di kembangkan,,semangat ,,

    BalasHapus
  2. Luar biasa mas Woko, kalah jauh nie saya. Semoga segera bertaubat, heee....segera lurus ke jalan yang benar seperti mas Woko yang " tiada hari tanpa nulis"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibu ini bagaimana, saya yg harusnya niru jenengan hmzz

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde