Langsung ke konten utama

Konseling Ruhani bersama Abah Yai Sholeh




Woks

Abah Yai Sholeh selaku Pengasuh Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Plosokandang Kedungwaru Tulungagung memberikan wejangannya kepada kami. Kali ini saya menyebutnya sebagai konseling ruhani. Karena dalam berbagai kesempatan dawuh beliau selalu menyejukkan. Ibarat tanah gersang dengan tetesan air hujan. Santri ndableg seperti saya ini hanya mendapat longsoran ilmu beliau dengan menuliskannya.

Dawuh beliau kali ini yaitu: pertama, ilmu itu jika si ahlinya bersungguh-sungguh maka akan menjadi cahaya penerang. Akan tetapi jika santri tidak bersungguh-sungguh maka ilmu itu bagai buah muda yang jatuh. Anda pasti tahu bahwa buah muda jatuh itu rasanya asam. Maka dari itu ilmu menjadi tak berguna pada akhirnya.

Kedua, diniatkan selama mondok itu mencari barokah. Salah satu keberkahan bisa dijadikan melalui khidmah. Beliau menyebutkan bahwa khidmah di pondok dan di perusahaan Cina itu berbeda. Maka dari itu khidmah yang sering disebut khodam, pembantu atau jongos di pondok akan lebih banyak faidahnya.

Ketiga, jika khidmah itu niatkan selamanya. Beliau sering didawuhi kiai Ploso bahwa khidmah itu hingga santri sudah di rumah. Jika demikian kalau diberi nasihat maka bilang inggih yai saya akan terus berkhidmah selamanya.

Keempat, kalau berkhidmah itu jangan malu. Justru di balik khidmah itu banyak keutamaannya. Khidmah sesungguhnya merupakan latihan di mana kita akan terjun ke masyarakat. Jika di pondok tak mau khidmah misalnya tidak mau piket maka biasanya di rumah pun hanya akan diam saja.

Kelima, khidmah misalnya mencuci bekas alat makan itu luar biasa maknanya. Jika kita tidak suka mencuci bekas makan maka biasanya kesulitan dalam memecahkan problem hidup. Jika kita selalu membersihkan alat makan maka Allah akan memudahkan dalam memecahkan masalah. Sejak dulu khidmah memang selalu berkaitan dengan kondisi hati. Bahkan bisa menjadi indikator kebersihan hati seseorang.

Keenam, santri itu harus ingat adabiyahnya. Karena dengan beradab berarti santri itu berkomitmen untuk sama-sama memegang benderanya para kiai. Jika santri tak beradab maka mau berpegang dengan siapa lagi. Jangan sampai kita membuat malu para kiai dengan sikap buruk di masyarakat.

Ketujuh, ingat untuk mengurangi ngopi. Karena orang tua menitipkan kita di pondok hanya untuk mengaji tak ada lain. Jangan sampe kita mengecewakan mereka dengan berbohong akan sebuah niat. Jika niat dari rumah mondok maka mengajilah. Jika tidak ya berkhidmah lah. Jika tidak mau semua lebih baik jangan mondok, cukup di kosan saja.

Di mana-mana orang mau berhasil dalam apapun harus rekoso alias bersusah payah. Termasuk harus prihatin. Inilah sikap yang harus dimiliki santri. Beliau juga bercerita tentang Almaghfurllah KH. Mahfudz Siraj Kalangbret Tulungagung di mana ketika dahar pasti seadanya dan selalu hurmat. Dengan begitu beliau benar-benar tirakat demi sebuah hikmah ilmu. Sedangkan kita di sini masih saja terlena dengan berbagai kemewahan.

the woks institute l rumah peradaban 24/3/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde