Langsung ke konten utama

Sowan Pondok Ngunut, Nulis dan Cerita Nabi-nabi




Woks

Alhamdulillah kemarin 16/3/2022 saya berkesempatan sowan ke Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien (PPHM) Ngunut asrama putra Sunan Gunung Jati. Sudah berapa purnama saya baru bisa ke sana lagi sejak haul Mbah Yai Ali beberapa tahun lalu. Tapi mungkin ini wasilah bisa ke sana lagi sejak beberapa bulan lalu saya diminta mengisi diklat kepenulisan oleh Pembina Literasi Mas Fauzi Ridwan.




Pagi sekitar pukul 08:30 saya dan Mas Muhibbin meluncur ke Pondok Ngunut lalu menyempatkan ziarah muassis KH. M. Ali Shodiq Umman, Bu Nyi Hj. Fatimatuzzahro, dan putra beliau KH. Darori Mukmin. Setelah itu barulah kami diterima di kantor SMA Gunung Jati dengan begitu ramah.

Acara pun dimulai sekitar pukul 09:15 di aula lantai 2. Saya sejak awal sudah menghirup udara yang sangat menyenangkan. Benar saja sejak di kantor saya diberi buku hasil Bahtsul Masail pada haul tahun lalu. Setelah itu di atas lantai 2 saya langsung disambut pembina OSIS dan diberi cinderamata berupa buku kumpulan cerpen "Pohon Bertali Sarung Seri 4" dan Buletin Jawara. Setelah itu yang membuat gempar adalah launching buku solo karya Mas M. Kamal Ramdani seorang santri asal Provinsi Riau.




Dia menulis kumpulan puisi berjudul "Tiada Hari Tanpa Rangkaian Kata". Lalu buku puisi tersebut diserahkan pada saya dan sejenak langsung berpikir, mimpi apa semalam bisa mendapat apresiasi sebanyak ini. Setelah itu acara diklat dimulai dengan diawali pembacaan qur'an oleh santri Ngunut. Lalu sambutan pembina OSIS dan saya setelahnya bermain hingga pukul 11:45 wib

Dalam pemaparan yang berlangsung sekitar 2 jam itu saya menjelaskan banyak hal terkait tips menulis kreatif. Saya rasa penting tema ini dibawakan karena santri perlu untuk dirangsang dalam memunculkan ide menulis. Menulis bagi santri tak kalah pentingnya dengan non-santri. Karena dengan kemampuan menulis seseorang akan bisa lebih memberikan kontribusinya.




Singkatnya dalam pemaparan tersebut saya juga mengajak peserta untuk ice breaking sejenak. Mereka saya ajak nebak gambar, nembang dolanan dan mendengar cerita imajinasi. Alasannya sederhana yaitu merangsang imajinasi kreatif agar muncul dalam pikiran. Setelah itu mereka mencoba praktek menulis beberapa kalimat.

Setelah acara usai gerbang pertanyaan pun dibuka. Pertanyaan pertama yaitu apa kendala yang ditemui saat menulis serta solusinya. Lalu bagaimana membuat judul yang menarik?

Saya menjawab: kendalan menulis pertama adalah kemalasan. Bahkan malas itu seperti saudara selalu dekat dengan kita. Oleh karenanya lawan rasa malas dengan strategi berupa gerak dan olah pikir salah satunya diskusi, minta solusi. Kedua, kehilangan ide menulis. Ide juga sangat sulit ditemukan apalagi ketika mood tidak sedang baik. Kondisi itu biasanya saya lawan dengan traveling alias jalan-jalan ya sekadar melihat bentang alam nan indah. Dengan begitu ada aliran energi positif dari alam yang bisa saya akses. Dengan begitu semangat menulis kembali pulih. Tak lupa pula minta saran dari para senior juga sangat penting agar kita bisa bangkit lagi.

Soal judul saya jawab: judul itu mudah dan bisa dibuat di awal ataupun di akhir. Yang terpenting adalah ide pokok yang menjadi sajian utama. Judul buku yang unik misalnya seperti "Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi" (Seno Gumira Ajidarma), "Rembulan Tenggelam di Wajahmu" (Tere Liye), "Makamkan Aku Di Tanah Tak Dikenal" (Ahmad Sobari) dan "Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya" (Rushdi Mathari) akan mudah dibuat seiring dengan jam terbang. Jika seseorang rajin berlatih, bacaan luas, kaya inspirasi maka judul bagaimanapun akan bisa diciptakan.

Apa alasan agar kita merasa senang dengan menulis atau apa alasan Mas Woko bisa menyenangi dunia tulis?

Saya menjawab: Saya menulis tergolong terlambat akan tetapi di tengah itu saya menemukan kesenangannya. Di antara kesenangan itu adalah kepuasan batin, uang, relasi dan ilmu baru. Barangkali kepuasan batin dan ilmu adalah kesenangan tersendiri yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Kenapa ada karya tulis berupa buku yang dibakar atau dijarah seperti pembredelan karya Pramoedya, Tan Malaka, Soe Hoek Gie dll?

Saya menjawab: ini selalu berkaitan dengan suhu politik yang berkembang. Sejak lama kita memang masih takut, ragu, khawatir dengan perkembangan buku-buku berideologi kiri. Ditambah dengan gejolak politik maka buku juga menjadi salah satu sasarannya. Pada dasarnya buku sebagai produk berpikir tidak boleh dihakimi. Akan tetapi faktanya negeri kita memang belum bersahabat dengan buku.

Setelah pertanyaan usai dijawab acara pun berakhir dengan ditutup do'a oleh pembina literasi dan diakhiri foto bersama. Saya memberikan closing statement berupa "jangan lupa menulis, terlalu banyak hal indah yang kita lewatkan jika tidak menuliskanya".

the woks institute l rumah peradaban 16/3/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde