Langsung ke konten utama

Catatan Haflah Akhirussanah PPHS Srigading 2023




Woks

Barangkali ini merupakan catatan haflah paling syahdu yang saya alami. Ya, haflah kali ini tentu akan menjadi acara yang akan terus diingat sebagai kenangan. Acara haflah kali ini diselenggarakan dalam musim penghujan yang hampir tiap sore terus mengguyur secara umum di wilayah Tulungagung. Tentu hujan tersebut membuat ketar ketir panitia sejak beberapa hari lalu.

Singkat kisah sebenarnya beberapa orang santri telah diijazahi oleh Abah sebuah doa mengusir hujan. Akan tetapi di hari H acara suasana begitu terang dan tidak nampak akan turun hujan. Bahkan saya sendiri terlelap tidur karena merasa optimis bahwa sore itu hujan tak akan turun. Ternyata dugaan kita semua meleset. Hujan turun dengan derasnya padahal semua perlengkapan seperti tenda, panggung, dekorasi, konsumsi semua sudah siap. Bahkan hari kemarin tanggal 27 Februari 2023 hujan tidak mengguyur setetespun. Demikianlah musim seperti halnya jodoh sangat misteri dan hanya bisa diprediksi.




Sore menjelang magrib panitia sudah bergerak. Mereka dengan antusias dan kekompakan menguras seluruh halaman pondok yang digunakan sebagai arena acara. Satu persatu ember, serokan, sapu lidi dan alat pel dari kain dikerahkan demi menyusutkan air hujan. Ketika magrib masuk halaman sudah kering dari banjir. Panitia pun merasa lega. Sepertinya optimisme akan berlangsungnya acara terbuka lebar.

Lagi-lagi untuk kedua kalinya optimisme kita runtuh. Hujan turun lagi bahkan lebih deras. Air datang dengan jumlah lebih banyak. Air tersebut menggenang membasahi sisi panggung, membasahi tikar dan menjebol tanggul kecil tempat pembuangan. Akhirnya kami pun hanya bisa pasrah. Saya melihat bagaimana perasaan ketua panitia dan lurah pondok atas segala daya upaya. Bagaimana ketika air mata mereka tumpah bersama hujan yang tak bisa diajak kompromi. Akhirnya walaupun begitu kami masih tetap berdiri tegak menyisakan harapan akan berlangsungnya acara.

Kami selalu berpikir dengan kondisi seperti ini apakah ada orang datang. Jika tidak ada jamaah lalu bagaimana nasib konsumsi dengan total 500 porsi tersebut. Tentu pikiran tersebut muncul menghinggapi kami semua. Wajar saja semua hal yang sudah disusun harus sirna karena cuaca. Singkat kisah dua orang jamaah datang. Kami pun sedikit mulai tersenyum, lumayan masih ada yang datang. Akhirnya mentari seperti muncul di malam hari beberapa orang datang dari warga termasuk alumni. Bahkan kami lebih terharu ketika para santri putri tahfidz Al Hidayah bersama Abah Sumari datang membanjiri seisi aula. Tidak hanya itu santri putra dan Abah Kiai Abdul Kholiq juga rawuh. Air mata kami sedikit terobati. Senyum kami sedikit merekah.




Di tengah guyuran hujan gema shalawat masih mengalun merdu. Acara berjalan dengan sangat syahdu. MC membacakan susunan acaranya dan Abah Sholeh pun memberikan sambutannya. Tak lupa pula tamu sepuh dan VVIP satu persatu disediakan angkutan ojek oleh panitia dan menempati panggung utama. Kendati mereka datang harus menerobos genangan air di halaman. Acara tetap berjalan secara perlahan hingga Gus Bahru Zamzami juga rawuh dengan asistennya.

Dalam sambutannya Abah Sholeh menekankan tiga hal yaitu untuk bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu karena tidak ada kepintaran tanpa seseorang melewati proses belajar secara sungguh-sungguh. Kemudian pesan beliau jangan melupakan nderes Al Qur'an tiap hari minimal se ayat dua ayat. Karena Al Qur'an akan menjadi cahaya penerang, memberi syafaat pada pembacanya esok di hari kiamat. Al Qur'an akan menjadi obat dan penerang bagi hati yang galau. Terakhir yaitu jangan melupakan shalat dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW karena dengan wasilah beliaulah kita akan dikumpulkan di akhirat kelak.




Dalam sambutannya mewakili panitia, Mas Kevin Sabara juga menegaskan terkait tema yaitu, "Ngrumat Shalat, Ngrumat Akhirat, Demen Shalawat, Angsal Syafaat". Tema tersebut tentu sangat relevan dengan keadaan kita saat ini. Maka dari kita sama-sama berdoa berharap juga bisa dipertemukan di bulan Ramadhan yang mulia. Sedangkan dalam ceramahnya Agus Bahru Zamzami menjelaskan banyak hal seputar sejarah isra mi'raj serta makna yang terkandung di dalamnya. Beliau juga menjelaskan akan peran vital pondok pesantren dalam menyemai akhlak dan pondasi utama Nasionalisme.




Dawuh Gus Bahru bahwa Al Qur'an itu tidak menggambarkan ketampanan Nabi Muhammad SAW seperti halnya Nabi Sulaiman melainkan akhlaknya. Karena dengan akhlak itulah Islam dapat kita terima hingga hari ini. Maka dari itu jika ingin mengukur keberislaman seseorang bukan soal ibadah tapi soal akhlaknya. Beliau juga menjelaskan untuk merubah perangai seseorang perlu dengan ngaji. Dengan ngaji seseorang akan terbuka hatinya.

Soal dakwah pun demikian, seseorang perlu berdakwah dengan luwes. Dalam artian fikih ketat untuk diri sendiri dan fleksibel untuk orang lain. Hal-hal demikian bisa ditemui di dunia pondok pesantren. Karena pondok pesantren itu lengkap 24 jam ditarbiyah oleh kiai. Sampai hari ini pesantren masih setia terhadap pembangunan manusia di Indonesia. Ibarat sebuah lagu lir ilir, cah angon cah angon itu yang mengrmbalakan adalah sosok guru. Maka dari itu keteladanan harus didorong dari depan atau belakang. Tak lupa pula para santri untuk terus berdzikir kepada Allah karena majelis dzikir adalah pertamanan surga di dunia.

Beliau juga ingat kisah bahwa di balik kokohnya Indonesia salah satunya lewat lirik lagu kebangsaan yang diciptakan oleh WR. Supratman. Kata beliau di balik lagu itu ada sumbangsih HS. Mutahar (seorang sayyid) bahwa untuk membangun manusia bukan dari badan melainkan jiwanya dulu. Maka dari itu lahirlah, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badanya untuk Indonesia raya".

Sekilas acara haflah PPHS 2023 dan sebelum berakhir ada sesi roasting yaitu antara Gus Bahru dan seorang santri yang ditantang menyanyikan lagu Subbanul wathan dan mars Banser. Setelah ceramah usai tibalah saatnya doa yaitu dipimpin langsung oleh Abah Yai Abdul Kholiq. Setelah itu barulah acara ramah tamah, makan bersama dalam satu talam dan acara pun usai dengan penuh kerinduan. Semoga kita diberkahi oleh Allah SWT.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde