Langsung ke konten utama

Ramadhan Mencatat dan Mendekat




Woks

Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan kembali dengan Ramadhan. Bulan yang siangnya berkah dan malamnya penuh fadhilah. Rasa syukur tersebut saya lengkapi dengan terbitnya sebuah buku yang memotret Ramadhan sebagai topik utamanya. Buku yang percis seperti dilakukan oleh Prof Abad Badruzzaman dalam mensyarahi quote Pak Rektor Maftukhin selama satu bulan penuh.

Kendati buku tersebut mengupas Ramadhan tahun lalu akan tetapi esensi dari bulan suci tak lekang oleh waktu. Saya sebenarnya sedikit kaget ketika dikabari Ndan Agus bahwa kata pengantar untuk buku Cengker Ramadhan sudah diterbitkan oleh Prof Ngainun Naim lewat buku barunya. Buku Jejak Intelektual Terserak (2023) karya Prof Ngainun Naim memuat kata pengantar untuk buku kami yaitu di halaman 49. Padahal buku kami belum terbit secara fisik tapi apalah daya kenyataan lebih mendahului.




Sebenarnya buku kami Cengker Ramadhan bisa saja terbit tepat waktu khususnya di momentum Ramadhan tahun ini. Akan tetapi karena kendala teknis lay out dan lainnya sehingga kami harus bersabar untuk entah sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi barangkali membidani sebuah buku untuk lahir memang demikian. Perlu kesabaran dan kebetulan Ramadhan menghendaki agar sabar menjadi salah satu output yang melekat pada manusia.

Saya tidak ingin membahas keterlambatan lahirnya buku tersebut. Yang jelas dengan mencatat setiap hikmah dari Ramadhan hidup kita terasa selalu dekat. Saya merasa dengan catatan hikmah Ramadhan tahun lalu justru menghantar ke Ramadhan tahun ini bahkan lebih dekat lagi. Akan tetapi kita juga perlu merenung pesan dari Gus Nadirsyah Hosen beberapa hari lalu beliau menulis di Media Indonesia, "Apakah Ramadhan Tahun ini Akan Lebih Bermakna?". Termasuk apa perbedaan Ramadhan tahun ini dengan sebelumnya?

Pertanyaan esensial tersebut tentunya perlu untuk diurai oleh setidaknya minimal dari diri sendiri. Yang jelas produktivitas dalam hal kebaikan termasuk menulis harus ditingkatkan agar Ramadhan tahun lalu tidak pergi begitu saja. Termasuk Ramadhan tahun ini yang harus diisi dengan rangakaian aktivitas keilmuan dan pengkajian. Terkhusus mengaji diri agar terus menjadi pribadi yang lebih baik.

Terakhir kita juga perlu merenung sejenak sambil menghayati pesan Prof Ngainun Naim dalam pengantarnya bahwa Ramadhan kapan pun harus ada upaya kreatif agar hidup menjadi lebih baik. Termasuk bagaimana religiusitas juga mengiringi langkah kita pasca Ramadhan. Marilah terus mencatat dengan banyak mencatat hari-hari lalu akan selalu dekat. Begitu pun Ramadhan, sampai kapanpun ia akan selalu kaya akan hikmah maka sayang jika tidak dicatat. Saya yakin bahwa kenangan tak akan pernah menua jika kita selalu mencatatnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 29/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde