Langsung ke konten utama

Mencari Sandaran Hidup




Woks

Esensi hidup itu apa tanya seorang bocah? seseorang yang memakai baju koko putih lusuh menjawab esensi hidup adalah mencari ketentraman. Tentram itulah yang sebenarnya tidah hilang sehingga harus susah payah ditemukan. Melainkan ketentraman itu diciptakan dalam kehidupan. Lantas bagaimana caranya ketentraman bisa hadir dalam hidup.

Pertama, hiduplah dengan sederhana dan minimalis. Sederhana berarti seseorang merasa cukup atas apa yang Allah berikan sedangkan minimalis adalah cara hidup untuk menekan keinginan sekecil mungkin. Karena hidup itu jangan dikendalikan oleh keinginan melainkan kebutuhan. Termasuk hidup itu yang membuat sulit adalah karena gaya hidup atau kebanyakan gaya. Jika orang sederhana akan tau bagaimana memilih sesuatu yang lebih esensi daripada berlelah-lelah mengejar materi.

Kedua, hidup dalam lingkaran pertemanan. Kata Imam Ghazali perbanyaklah berteman dengan siapapun karena kita tidak tahu teman ke berapa yang esok akan menyelamatkan seseorang di akhirat. Hidup dengan teman sesungguhnya merupakan rezeki yang luar biasa. Perbedaan antara orang yang banyak teman dan yang sedikit tentu akan menjadi tolok ukur tersendiri. Karena teman adalah cerminan diri sendiri. Jika ingin mengetahui baik buruk seseorang maka lihatlah dengan siapa ia berteman. Sungguh teman itu sandaran diri terutama di saat kita terpuruk lebih lagi sandaran hati.

Ketiga, hidup dalam sebuah perguruan. Perguruan yang dimaksud tentu relasi guru murid. Celakalah bagi mereka yang tidak pernah berguru alias tidak pernah menjadi murid. Sepertinya memang tidak mungkin seseorang tidak berguru karena sejak awal pun orang tua adalah guru pertama bagi kita. Peran guru tentu sangat besar bagi perkembangan murid-murid sampai menjadi seperti saat ini. Tak terbayangkan hidup tanpa bimbingan para guru rasanya kita yang akan menjadi hewan berpikir biasa. Tapi karena gurulah kita ditunjukannya jalan. Jalan lurus yang tak terputus, jalan suci yang menunjukkan pada Tuhan. Saking mulianya guru bahkan dibeberapa istilah dikenal dengan Ghru alias dewa. Memang benar tanpa kehadiran guru dalam hidup kita akan kelimpungan tak tau arah.

Keempat, menjadi anak selamanya. Ya sebesar apapun kita saat ini perihal jabatan, gaji, posisi, atau apapun itu semua tak lain karena orang tua. Jika pun hari ini kita menjadi orang tua itu hanya peran sampingan hakikatnya kita adalah seorang anak. Anak akan selalu membutuhkan orang tua terutama di saat kegetiran hidup melanda. Seperti halnya guru peran orang tua juga luar biasa. Seorang anak tanpa kehadiran orang tua tak akan ada artinya. Maka dari itu ada istilah orang tua adalah dermaga terakhir seorang anak untuk terus bersandar. Ketika orang tua pergi alias tiada seorang anak hanya terombang ambing di antara batuan karang di tengah samudra. Maka dari itu di sinilah peran ilmu dan akhlak yang akan terus membimbingnya.

Kelima, mencari pengait pada makam para auliya. Seperti yang kita ketahui bahwa para wali Allah itu tidak mati mereka terus hidup bahkan lewat pusaranya terus memancar nur ilahi. Mereka bahkan masih dirasakan selalu mentarbiyah para muhibbinnya. Maka dari itu kata Gus Thuba jangan mau terputus dengan para kekasih Allah. Jangan berhenti untuk terus berwasilah dengan nama mereka yang mulia. Dalam bahasa ekstrim apa yang diandalkan dari diri kita, apakah harta, jabatan atau amal. Sungguh tidak ada yang bisa dibanggakan kecuali bersama orang-orang sholih. Maka dari itu para auliya adalah tempat bersandar atau orang Jawa menyebut gondelan, pancikan, cantholan, untuk hari esok.

Dalam konteks mahasiswa pun demikian yaitu pengetahuan di kampus tak bisa diandalkan. Hanya proses kita berdialektika di luar kampus seperti membaca dan diskusi akan menambah pengetahuan lebih. Maka dari itu sebagai manusia sadar akan hal-hal yang tidak pernah ditemukan di luar diri sendiri. Kita perlu mencari esensi hidup yang lebih bermakna dan semua muara hidup adalah Tuhan yang maha kuasa.[]

the woks institute l rumah peradaban 14/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde