Langsung ke konten utama

Geliat Literasi Santri Tapal Kuda




Woks

Saya itu selalu penasaran dengan geliat berliterasi santri dari daerah tapal kuda seperti di Bangkalan, Situbondo, Pasuruan, Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Sumenep, Pamekasan dll. Rerata santri-santri di sana mampu menulis dan tulisannya menyesaki web menulis nasional. Tidak hanya itu tulisan mereka pun selalu bagus dan menggugah selera.

Anda mungkin kenal dengan Dzawawi Imron sang clurit emas dari Madura, penyair Raedhu Basha, Edi AH Eyubenu (Diva Press), Ning Khilma Anis, Muna Masyari, Ayung Notonegoro, Ahmad Faizi, Lora Ismail Al Kholili, Abdul Hadi WM, Gus Rizal Mumaziq (UAS Kencong), Cak Rusydi, hingga tokoh nasional seperti Sujiwo Tejo, Mahmud MD, Artidjo Alkostar dll. Semua nama-nama tersebut adalah penulis produktif yang selalu memberikan pencerahan lewat dunia menulis.

Mungkin nama-nama mereka terlalu besar. Akan tetapi saya sendiri menyaksikan bagaimana geliat berliterasi khususnya dari santri Ma'had Aly sangatlah produktif. Di antara mereka selalu menjadi pesaing tidak hanya dalam lomba kepenulisan juga dalam mengisi ruang maya. Web menulis di mana-mana khususnya rubrik sastra, budaya dan keberislaman sudah dipastikan salah satu di antara mereka selalu menjadi pionirnya. Dan hal itulah yang membuat saya iri.

Entah sejak kapan tradisi menulis berkembang di pulau garam tersebut. Hingga akhirnya menggoda saya untuk bertanya. Sekian lama pertanyaan ini mengendap dan kepada siapa saya tujukan. Akhirnya sekian lama saya teringat ada teman, Mas Jihad namanya. Ia mahasiswa dari Tulungagung yang kuliah di IAIN Madura dan dulu pertemuan kami di IAIN Tulungagung saat kompetisi esai piala rektor.

Saya pun bertanya pada Mas Jihad begini, mengapa pondok-pondok di sana mewajibkan santri-santri untuk menulis. Atau secara umum mengapa daerah tapal kuda geliat literasinya luar biasa. Lalu jawabannya dari teman-teman di sana disampaikan oleh Mas Jihad berikut ini:

Ada beberapa alasan mengapa di daerah tapal kuda khususnya kalangan pesantren selalu bergeliat dalam literasi di antaranya :
Pertama, Tiap minggu santri wajib menulis cerita dengan menggunakan bahasa asing (Arab & Inggris), minggu pertama Arab minggu kedua Inggris, biasanya minimal 1 lembar bolak balik. Kedua, Tiap tahunnya ada kegiatan/event internal, namanya TMI menulis, jadi selama ± seminggu itu kegiatannya tentang literasi. Ketiga, Saat kelas akhir wajib menyusun sebuah paper, dan sistematikanya sama kayak penelitian pada umumnya. Keempat, Selain kegiatan mingguan dan tahunan, faktor yang paling mendukung adalah lingkungan, biasanya santri itu secara individu suka menulis hikayat di buku khusus, karena melihat temannya juga suka gitu akhirnya saling tular menular. Ghirah membaca pun begitu, tiap santri kemana-mana jika tidak sedang olahraga/bersih-bersih wajib membawa buku bacaan.

Masih banyak lagi sih pemicunya, cuma itu poin-poin pentingnya, sama kayak bahasa di sana, walaupun gak niat belajar bahasa asing tapi karena lingkungannya begitu akhirnya secara tidak sadar kita akan tau dengan sendirinya, walaupun kurang mendalam dibanding mereka yang niat dan giat mempelajarinya.

Dari jawaban tersebut sudah sangat jelas bahwa iklim yang terbangun dari sebuah komitmen bersama akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan berliterasi di suatu tempat. Dalam hal ini dunia pendidikan menciptakan iklim yang kondusif untuk menyemai virus literasi sangatlah penting. Jika sudah terbangun orang secara alamiah akan mengikuti sendiri karena semua itu sudah mentradisi alias mendarah daging.

Satu hal yang tak boleh dilupakan dari jawaban tersebut adalah tentang jejaring alias koneksi. Saya melihat anak-anak tapal kuda khususnya dari Madura karena geliat literasinya sudah baik maka Jogjakarta adalah tujuan utamanya. Kota pelajar itu merupakan tempat favorit mereka untuk mengembangkan kemampuan berliterasi yang sudah ditempa sejak dini. Akhirnya dengan demikian jejaring literasi seperti inilah yang akan melahirkan sumber daya yang luar biasa. Ingat bahwa nenek moyang kita adalah seorang penulis bukan pembicara.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde