Langsung ke konten utama

Radar Ramadhan




Woks

Menulis di koran mungkin sesulit yang orang bayangkan. Memang jika mengirimkan tulisan untuk dimuat dan mendapatkan honor sangatlah sulit. Karena hal itu harus melewati prosedur tertentu dan pastinya membutuhkan waktu. Berbeda dengan tulisan yang sengaja dikurasi oleh redaktur melalui para jurnalis lewat proses mencari tulisan. Hal itu bisa lebih cepat barangkali didapat dari beberapa kolega.

Hal yang terakhir saya rasakan dan pastinya jika mengikuti alur yang pertama akan terasa sulit. Kebetulan saya pernah memiliki pengalaman dengan tulisan yang dimuat di koran. Seingat saya tulisan yang dimuat di koran Radar Tulungagung tersebut sudah 4 tulisan yaitu "Seni Berdekatan Dengan Perpustakaan 30/3/20, Merindukan Ramadhan Sebagai Pencetak Generasi Masjid 20/4/21, dan yang terbaru adalah Puasa Sebagai Jamuan Rohani Umat Lintas Agama". Seingat saya di tahun 2022 juga di kolom yang sama saya menulis tapi ternyata lupa.

Tulisan tersebut bukan tanpa alasan mengapa bisa dimuat. Salah satunya karena jurnalis Radar Tulungagung tersebut merupakan teman sendiri, jadi apalah daya. Saya hanya membantu agar pekerjaannya dapat terselesaikan. Biasanya tulisan seperti di kolom Kalam Ramadhan memang sengaja dicari dan tujuannya sebagai sajian khusus selama satu bulan penuh.

Saya tentu sangat senang kendati tidak mendapatkan honor. Tulisan yang sederhana itu bisa dimuat saja sudah lebih dari cukup. Bagi saya memang demikian bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan uang dan salah satu yang didapat dari menulis adalah kepuasan batin. Selanjutnya mungkin nama baik dan hal populer lainnya. Sederhananya bagi saya menulis yang menulis saja baik itu di media cetak maupun online menulis ya menulis tak ada bedanya. Semua soal mental saja bagaimana memposisikan hal tersebut.

Di kolom Radar Ramadhan tentu saya sangat apresiatif karena setidaknya dengan begitu dapat memunculkan penulis baru. Bibit-bibit memang perlu untuk dimunculkan ke ruang publik agar orang tahu bahwa menulis itu tidak mudah. Menulis itu perlu akurasi yang tepat dan pastinya bermartabat. Maka dari itu jika kita dimintai tulisan untuk mengisi kolom di koran jangan ditolak. Tulis saja dan niatkan semoga dapat bermanfaat bagi banyak orang.

the woks institute l rumah peradaban 30/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde