Langsung ke konten utama

Haul ke-10 KH. Hafidz Baehaqi di Kubangsari




Woks

KH Hafidz Baehaqi dan kami memanggilnya bapak. Saya mengenal beliau kurang lebih 10 tahun yang lalu dan malam minggu kemarin bertepatan dengan satu dekade beliau berpulang. Peringatan haul ke-10 ini tentu istimewa selain dilaksanakan secara berjamaah, offline, sekaligus bertepatan dengan haul agung Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel ke-546. Semoga saja keberkahan memancar pada peringatan haul di hari itu.

Sayang peringatan haul ke-10 Kiai Hafidz ini saya tidak bisa mengikutinya secara offline. Akan tetapi melihat dari beragam postingan serta beberapa story WhatsApp menunjukkan acara tersebut gegap gempita. Acara yang dirangkai dengan khotmil Qur'an, ziarah maqbaroh, yasin tahlil hingga haul memang sengaja disusun serapih mungkin. Akan tetapi acara tersebut khususnya haul tidak terbayangkan oleh keluarga yang menurut hemat saya begitu dibanjiri masyarakat. Kiai Hafidz memang tidak hanya dimiliki keluarga akan tetapi dimiliki semua orang.

Jika bicara beliau tentu tak ada habisnya. Putra dari Kiai Imam Ahmad dan Nyai Marfiatun tersebut memang teristimewa. Bahkan pertemuan singkat saya seolah menyiratkan agar jemari ini menuliskan biografi dan kisah beliau. Akan tetapi lagi-lagi sayang sungguh sayang keterbatasan ruang dan waktu menjadi sebab. Ya, saya sebenarnya sejak lama ingin mengumpulkan kisah-kisah dari para sahabat atau guru-guru terkait kesaksian hidup Kiai Hafidz. Saya merasa kisah tersebut akan sangat penting sebagai mutu manikam esok untuk anak cucu.

Mungkin cita-cita saya tersebut terasa membosankan bagi sebagian orang. Akan tetapi bagi saya semua itu demi merawat ingatan. Kita tahu bahwa manusia adalah mahluk pelupa, jangankan satu tahun, satu minggu beberapa menit yang lalu pun kita sudah lupa. Inilah pentingnya persaksian dalam bentuk catatan yang akan terus dibaca. Kadang memang harus bahkan wajib untuk mengingat orang sholeh. Agar hati kita tetap sambung kepada Allah SWT.

Seperti halnya dawuh Maulana al Habib Luthfi bin Yahya di acara haul agung Sunan Ampel 2023 beliau mengatakan bahwa para wali Allah masih terus memberi kehidupan, memberikan kemanfaatan, menunjukkan jalan kepada Allah sekalipun jasad mereka telah menjadi pusara. Para wali-wali Allah sesungguhnya tidak mati justru nur basyirah dan tarbiyah nya semakin memancar. Kata Gus Miek sungguh waliyullah itu akan tetap terus menunggui, memperhatikan siapa saja yang bersambung kepadanya. Salah satu persambungan tersebut adalah wasilah doa dan fatihah.

Gus Thuba bin Gus Robert bin Gus Miek juga mengatakan hal yang sama bahwa jangan mau terputus dengan para wali Allah. Sungguh mereka adalah pengait ikatan yang dapat dibanggakan dalam bahasa Jawa pados gandolan, gondelan, cantholan, katrol. Mencari sesuatu untuk bersandar kepada Allah tak lain lewat tuntutan shalafuna sholih. Semoga kita semua selalu bersambung dengan mereka para guru-guru yang telah mengajarkan kebaikan untuk selalu taat kepada Allah SWT dan rasulnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 12/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde