Langsung ke konten utama

Menjadi Sarkub Semalam




Woks

Malam minggu yang sendu saya diajak seorang teman bernama Ibad, saya memanggilnya Ibad Suribad Makanya Krambat. Ibad mengajak saya untuk berburu buku di stand bazar tahunan Jepun. Tapi sayang sesuai yang sudah saya duga anak plinplan itu membelokan niatnya. Tapi kali ini niatnya adalah untuk berziarah. Oke kalau demikian.

Akhirnya kami memutuskan untuk membuat rute sederhana distinasi ziarah makam mana yang akan dituju. Walaupun dalam keadaan kurang fit saya pun memberanikan diri untuk menemaninya. Singkat kisah awal kami ziarah adalah Makam Mbah Agung Taruna. Saya menegaskan bahwa ziarah itu yang dekat terlebih dahulu barulah yang jauh kita tuju. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Mbah Agung adalah tokoh di balik babad desa Plosokandang lebih lagi Tulungagung.

Di sana kami shalat isya lalu setelahnya barulah membacakan yasin dan tahlil. Suasana di makam Mbah Agung terasa syahdu ditemani temaram malam yang sayup di bawah pohon ploso menjulang namun menunduk. Selepas ziarah di Plosokandang kami langsung bertolak ke Moyoketen tepatnya di makam Kiai Pacet wa ahli bait. Di makam ini juga terdapat kompleks pekuburan keluarga Pondok MIA khususnya KH Abdul Aziz (pendiri) dan KH Munawwir Kholid (muassis metode an Nahdliyah).

Tanpa banyak waktu kami pun langsung memanjatkan doa. Yasin tahlil tak lupa kami baca seraya kulo nuwun, izin sowan panjenengan. Sebenarnya kami juga ingin mampir ke makam Mbah Kumbang alias Mbah Kiai Imam Hambali. Akan tetapi karena keterbatasan waktu akhirnya kami langsung menuju Macangban tepatnya ke makam Mbah Sunan Kuning alias Syeikh Sayyid Zainal Abidin.




Setelah sampai di sana tak lupa motor kami parkir. Dan tak lupa membayar parkir 2000 rupiah kepada juru parkir yang ternyata sudah sepuh. Kami mengambil air wudhu dan langsung menunaikan hajat dengan berdoa, berwasilah, mengirimkan kalimat thayyibah. Di sana juga kami melihat seorang bapak mengajak anaknya mungkin untuk napak tilas para auliya di Tulungagung. Di sanalah suasana terasa tampak adem karena memang Masjid Tiban begitu hening. Singkat saja akhirnya kami pun pulang dengan perasaan teramat lega.

Di sepanjang jalan saya tak henti melantunkan syiiran qasidah yang biasa dicakan Gus Miek dalam acara Jantiko dan Dzikrul Ghafilin. Tak lupa pula merekamnya dengan hp nan sederhana untuk sekadar kenangan. Kami pun bertolak awalnya ke Moyoketen untuk membeli buah. Ternyata jadinya malah ke Ngemplak dan memang di sana gudangnya. Sudah ku duga kembali ketika sampai di sana Ibad hampir saja tidak jadi membeli buah. Alasannya karena kios buah berada di seberang jalan dan ia malas untuk menyebrang.

Akhirnya saya hanya diam dan membuatnya terserah. Saya pun mampir untuk menikmati semangkuk wedang ronde. Seketika itu Ibad dengan gontai membeli buah. Sudah saya prediksi sejak awal nyatanya yang dibeli adalah buah jeruk. Dan anda pasti tahu buah jeruk di kios manapun jumlahnya sangat banyak. Jauh-jauh berkalang jarang hanya untuk membeli jeruk. Coba saja jika bukan karena kesabaran pasti saya akan kalah. Tapi tak mengapa yang jelas saya sudah puas untuk terus bersambung dengan para auliya Allah agar tetap menjaga hati, sabar dan nriman.

the woks institute l rumah peradaban 12/3/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde