Langsung ke konten utama

Todoki Book edisi ke-11 Bersama Bapak M. Alhada F. Habib, S.Sos., MA.




Woks

Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan mengikuti acara keren yaitu Todoki Book di Rumah Ungu Sumbergempol. Acara ini nampak spesial karena pembedah buku langsung oleh seorang dosen. Beliau adalah Bapak M. Alhada F. Habib. Buku yang dibedah yaitu Sosiologi Ekonomi karya Muhammad Adlin Sila.

Acara ini dihadiri hanya sekitar 5 orang peserta akan tetapi secara online dihadiri lebih dari itu. Ya acara ini dilaksanakan secara online lewat akun IG Dulur Dermayu. Dari acara yang singkat lalu dilanjutkan dengan buka bersama tersebut saya mendapat banyak pengetahuan baru. Beberapa catatan telah saya siapkan di antaranya:

Bahwa ekonomi itu tak lain didasari adanya semangat untuk memperkaya diri. Semangat itulah yang akhirnya menjadi tulang punggung ekonomi modern dengan kapitalismenya.

Dalam buku tersebut Pak Hada menjelaskan bahwa di negara-negara maju seperti di China, Amerika, Jepang, Korea atau Kanada memiliki kunci untuk meningkatkan ekonominya. Dua hal setidaknya paling mencolok yaitu peningkatan strategi ekonomi dengan nilai budaya dan agama. Hal itu pula sekaligus melahirkan studi sosiologi ekonomi sejak tahun 1960an. Maka kesimpulannya adalah kemajuan ekonomi suatu negara tergantung sejauh mana menjunjung tinggi nilai budaya dan
nilai agama. Dalam konteks kemajuan negara tersebut berawal dari dogma pada ajaran Calvinis lewat sekte gereja.

Satu hal yang menarik dari buku tersebut sekaligus menjadi ide besar isi buku adalah pandangan Adlin Sila selaku penulis. Ia membuat gebrakan pendapat bahwa hanya lewat ajaran dan nilai-nilai agamalah ekonomi dapat melesat. Jika ditarik dalam konteks ini adalah agama Islam lewat teladan agung Baginda Nabi Muhammad SAW. Sistem ekonomi yang telah dicontohkan nabi tak lain merupakan cara tidak hanya meraup keuntungan tapi meraih keridhoan. Dalam bahasa populer disebut ekonomi berertika atau sebuah cara memunculkan kebaikan dan kebersamaan untuk meraih berkah. Di sinilah peran syariat menjadi dasar utama seseorang dalam berniaga.

Maka tidak salah bahwa untuk meningkatkan ekonomi asalkan bertumpu pada nilai-nilai kearifan di masyarakat dan berpegang teguh pada ajaran agama pasti menjadi solusi utamanya.

the woks institute l rumah peradaban 1/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde