Langsung ke konten utama

Memoar Tentang Sakit (1)




Woko Utoro 

Alhamdulillah saya masih diberi nikmat sakit. Kenikmatan yang setiap orang harus merasakannya. Sakit adalah nikmat bagi mereka yang mengetahui ilmunya. Tapi bagi yang tidak mengetahui sakit adalah cobaan bahkan siksaan. Dalam sakit ada keistimewaan salah satunya mengurangi dosa. Tapi berbeda dengan medis bahwa sakit adalah terjadinya gangguan pada sistem metabolisme sehingga tidak berjalan baik.

Saya sudah prediksi saat transisi perubahan suhu maka badan lebin rentan sakit. Terlebih ketika peralihan musim antara penghujan ke kemarau istilah pancaroba menjadi hal tak terhindarkan. Sejak kecil soal urusan tubuh sebenarnya saya mudah untuk mendeteksi apakah badan sehat atau sakit. Terutama saat aktivitas padat serta tidak diimbangi dengan istirahat dan pola makan yang baik. Bersiap-siap saja setelah itu akan sakit.

Maklum darah muda kadang sulit diatur. Bahkan di usia saya menginjak (berapa ya haha) soal urusan kesehatan kadang sedikit abai. Maka jika saya di rumah pasti ibulah yang paling rewel soal urusan kesehatan. Kali ini pun terjadi lagi setelah pagi mengurus motor mogok, aktivitas di sekolah, ngoreksi LJK, ngurus kartu ATM rusak hingga perjalanan ke Ringinrejo Kediri saat itulah tubuh mulai goyah.

Benar saja tubuh langsung drop. Biasanya saya berdoa setelah request jika diberi sakit minta di hari weekend, sabtu minggu agar tidak merepotkan orang. Tapi kali ini sakit saya dimulai hari rabu. Biasanya pengobatan ala orang desa saya lakukan pertama dan insyaallah manjur. Tapi kali ini hingga 3 hari panas tak kunjung reda, batuk semakin menggigil, kepala pening, perut melilit, mata berkunang, badan terasa lunglai, tubuh tak kuat menyangga, rasanya dingin dan hidung tersumbat.

Soal itu semua sebenarnya saya tidak menyalahkan siapapun. Karena saya ingat dawuh Mbah Moen, bahwa apa yang kita rasakan pasti tak jauh dari pola tingkah yang dilakukan. Dari dawuh itulah saya sadar kurangnya menjaga kesehatan. Saya sadar selain aktivitas padat pada saat itu makan sering telat, begadang tiap malam dan ngopi hampir tiap hari, tambah sedikit rokok. Jadi wajar jika sakit saat ini lumayan cukup mencambuk saja.

Tapi bagaimana pun itu sakit tetaplah sakit. Agar kita manusia biasa maka siklus ini harus didapatkan. Tujuannya sederhana supaya tidak menjadi Fir'aun yang sombong karena tidak pernah sakit. Maka dari itu sakit selalu membawa pesan khusus rawatlah diri mu karena yang mengerti otonomi tubuh adalah diri mu sendiri.[]

The Woks Institute|rumah peradaban 21/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde