Langsung ke konten utama

Usep Romli H.M Editor Buku Surat-surat Dari Jepang Ajip Rosidi




Woko Utoro

Mungkin tidak banyak orang tahu siapa Usep Romli termasuk saya juga baru kali ini. Ternyata Usep Romli adalah salah satu sastrawan Sunda yang produktif menulis. Ia juga seorang jurnalis di Harian Umum Pikiran Rakyat. Memang Usep Romli tidak bisa dipisahkan dari dunia tulis menulis khususnya dengan latar belakang Nahdliyyin Tatar Sunda.

Usep Romli lahir di Limbangan Garut Jawa Barat pada 16 April 1949. Seperti halnya Ajip Rosidi ia juga senang menulis sejak muda. Bahkan kegemaran, produktivitas, dan konsistensinya dalam menulis banyak institusi yang memberikan penghargaan kepadanya, misalnya Asrul Sani Award, Rancage sebano2 kali. 

Karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi, esai, dongeng juga banyak dihasilkan. Di antaranya yang mendapat penghargaan adalah dalam bahasa Sunda kumpulan cerpen Sanggeus Umur Tunggang Gunung. Dalam bahasa Indonesia yaitu Si Ujang Anak Peladang, Pahlawan-pahlawan Hutan Jati, Percikan Hikmah (Anekdot Kaum Sufi) dll. 

Usep Romli juga merupakan tokoh yang aktif dan terkenal dekat dengan siapapun. Ia aktif di LTN NU Jawa Barat dan pengurus DPW PKB. Kedekatan Usep salah satunya adalah dengan Ajip Rosidi. Sehingga buku Ajip Rosidi yang berisi surat-surat dari Jepang diberi pengantar oleh Usep Romli. Adapun isi pengantar tersebut seperti di bawah ini :

Pada surat-surat yang terpilih dan dimuat dalam buku ini terlihat jelas betapa produktif dan tekunya Ajip Rosidi dalam perjuangan meneguhkan kehidupan bahasa dan sastra Sunda. Walaupun ia harus berjuang bertahan dalam kesibukan.

Satu proyek yang berdurasi untuk masa depan, dan hampir mustahil dilakukan oleh orang yang cinta bahasa, sastra dan budaya Sunda hanya di bibir saja. Tidak salah jika Ajip Rosidi dianggap pembesar Revolusi Literasi. Tujuannya jelas yaitu mendobrak semangat banyak orang untuk cinta membaca.

Waktu masih menjadi ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 1970an berhasil meyakinkan pemerintah yang pada saat itu sempat booming akan harga minyak bumi, untuk membeli buku buat perpustakaan sekolah. Hingga menjadi perbincangan anak dan remaja.

Sampai lahir instruksi presiden (Inpres). Mendirikan bangunan-bangunan SD (yang disebut SD Inpres) dengan dilengkapi buku bacaan (yang juga disebut buku Inpres). Setiap judul buku Inpres dibeli tunai 130.000 eksemplar. Royaltinya juga dibayar tunai setelah buku itu sampai di sekolah-sekolah. (Surat-surat Ti Jepang jilid 4).

Pada surat-surat nya Ajip memperlihatkan betapa luasnya lapangan kebudayaan. Bagi Ajip kebudayaan bukanlah sekadar sastra, bahasa, seni rupa, tapi meliputi perbukuan, politik, ideologi, pendidikan, filsafat, sosial, ekonomi, kedaerahan, kenasionalan, termasuk semua persoalan hidup manusia dan kemanusiaan. Termasuk silaturahmi dan tolong menolong kepada sesama. 

Tidak terasa lamanya selama di Jepang pun sekitar 22 tahun Ajip masih tetap menjaga silaturahmi. Paling tidak melalui surat-surat nya. Walaupun surat-surat tahun 1980-1992 ditujukan kepada orang-orang yang dikenalinya ditulis dalam bahasa Sunda. Tidak semua harus membahas bahasa atau sastra Sunda saja. Seperti yang telah disebutkan, bahwa Ajip membahas banyak hal terutama berkaitan dengan mendidik. Termasuk keberadaan bahasa ibu yang tidak bosan dibahas. Dari waktu ke waktu, melewati beberapa surat kabar, majalah, televisi, serta informasi dari surat-surat balasan yang dikirimkan. (Surat-surat Ti Jepang jilid 5).

Demikianlah sekilas tentang Usep Romli salah seorang tokoh sastrawan yang berjasa terhadap karya tulis khususnya di Jawa Barat. Salah satu kenangan terbesar dari Usep Romli adalah karyanya berupa cerita atau dongeng anak berbahasa Sunda. Kita tentu masih berharap ada Usep Romli di era modern kini. 

the woks institute l rumah peradaban 26/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde