Langsung ke konten utama

Kesan Mengikuti Pelatihan Jurnalistik NU Online




Woko Utoro

Kemarin adalah penutupan acara pelatihan jurnalistik NU Online. Saya kebetulan hadir di momen pamungkas tersebut. Walaupun pada saat itu saya sedang bertugas mendokumentasikan acara Ngaji Rutinan Muslimat Wathonah Jatman Tulungagung di Masjid Al Ma'ruf Kauman. Tapi semua berjalan dengan lancar. 

Di pertemuan terakhir tersebut beberapa mentor seperti Pak Fatoni dan Mas Syakir juga turut memberikan masukan. Termasuk Pak Ivan A. A juga turut mengabsen para peserta satu persatu. Di bagian inilah salah satu hal yang bisa saya ingat sebagai momen silaturahmi. Momen yang tentunya hanya ditemui di kelas-kelas bimbingan bukan secara umum. 

Di momen penutupan tersebut tentu saya memiliki kesan tersendiri. Karena bagaimanapun proses ini harus diberi apresiasi. Dari awal hingga akhir tentu bukan hal mudah. Terlebih kita komitmen akan ruang, waktu dan pikiran. Tapi saya mungkin satu dari 60 peserta yang beruntung bisa kenal dengan redaktur NU Online. Selain itu energi semangat para peserta yang tersebar dari Sumatra hingga Papua, dari Kalimantan sampai Banyuwangi juga tak kalah serunya. Apalagi ada beberapa peserta yang ternyata sudah berkhidmah di media NU daerah masing-masing. 

Acara pelatihan kejurnalistikan yang dimulai tanggal 18 Mei 2024 dan berakhir 29 Juni 2024 tersebut telah saya catat inspirasinya. Sedangkan kesan saya selanjutnya adalah : dapat kesempatan mengikuti pelatihan tersebut dan ini momen langka. Selanjutnya mendapatkan ilmu yang belum saya ketahui sebelumnya. Mendapatkan inspirasi dari beragam pengalaman para mentor. Berpacu untuk belajar dalam tugas. Serta mendapat bimbingan intensif di ruang kelas khusus. Kebetulan saya berada di ruang kelas Said Budairy bersama Abah Abdullah Alawi.

Semoga ke depannya saya bisa mengikuti kelas jurnalistik yang diadakan oleh NU Online. Karena selain dapat menunjang skill jurnalistik saya juga berharap bisa berkhidmah di NU. Dalam pelatihan sekitar 6 pertemuan tersebut tentu terdapat juga beberapa catatan. Di antaranya, kurangnya waktu bimbingan, kendala sinyal dan minimnya contoh dalam ruang materi umum. Harapan saya ke depan antara materi dan praktik dapat seimbang sehingga peserta bisa dapat lebih disiplin lagi termasuk motivasi adanya reward. []

The Woks Institute | rumah peradaban 30/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde