Langsung ke konten utama

Melatih Jiwa Terampil di Pesantren

 


Woko Utoro 


Menarik apa yang disampaikan Abah Zainal pada acara penutupan ta'lim Pesantren Subulussalam kemarin (8/6/24). Pesan beliau tentu tidak kali ini saja melainkan selalu disinggung di setiap acara. Saya tentu salah satu orang yang mencatat betapa beliau sering menyampaikan hal tersebut. Penyampaian beliau untuk santri yaitu tentang berproses di pesantren.


Kata Abah Zainal selama masih berada di pesantren santri harus sering berlatih. Latihan tersebut tentu tentang banyak hal. Salah satunya mengenai kemampuan skill individu. Jika santri kuat akan hafalan maka menghafal Qur'an dengan serius. Jika santri berbakat soal tarik suara maka asah terus kemampuannyakemampuannya menyanyi. Jika santri pandai membaca kitab maka perkuat terus bacaannya dan sebagainya.


Abah Zainal sering berpesan demikian dalam rangka upaya preventif santri agar tidak menyesal di kemudian hari. Kata beliau santri harus sering bertaubat. Taubat tersebut memiliki ciri menyesal, tidak ingin mengulangi perbuatan dan denda. Denda itulah salah satu upaya untuk terus memperbaiki diri. Maka tidak salah jika di pesantren selama santri berkegiatan positif konstruksif akan selalu beliau dukung. Ini adalah komitmen pengasuh untuk mengembangkan potensi santri terkhusus nanti sebagai bekal di masyarakat.


Terakhir beliau juga berpesan untuk gigih dan rajin selama masih di pesantren. Ingat kembali tentang niat awal mengapa orang tua menitipkan kita di pesantren. Pastinya akan ada harapan lebih jika anak berada di pesantren. Kata beliau biarlah orang lain berleha-leha sedangkan kita bersusah payah di pesantren. Hal itu adalah cara untuk kita dipersiapkan menjadi santri yang tahan banting. 


Seperti kata Ibnu Abbas, ذللت طا لبا فعززت مطلوبا mungkin bisa jadi hari ini kita berada di bawah tapi percayalah hari esok kita akan menuai kesuksesan karena dibekali ilmu. Senada dengan itu sebelum terlambat maka santri harus fokus dan menikmati selama berproses di pesantren. Karena alam pesantren merupakan tempat mengasah diri menjadi pribadi yang terampil dan bermanfaat.[]


The Woks Institute|rumah peradaban 22/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde