Langsung ke konten utama

Pendidikan Kesadaran (3)




Woko Utoro

Salah satu hal yang sangat sulit dibangkitkan adalah membangun kesadaran membaca. Di daerah saya atau lebih luas lagi Indonesia pertumbuhan sadar membaca masih minim. Ini baru persoalan kesadaran belum lagi perihal minat baca hingga memahami dan mengaktualisasi bacaan. Intinya gerakan kampanye membaca itu penting sudah tidak kepalang banyaknya bahkan dari tengah kota sampai pelosok desa.

Beberapa hal di antara gerakan riil membuka kesadaran membaca adalah dengan nglapak buku. Sebelum jauh tentu kita tahu bahwa ada yang lebih luas dari sekadar membaca buku yaitu membaca lingkungan. Akan tetapi membaca luas berawal dari membaca dasar yaitu dari sebuah buku. Saya tentu tidak usah menjelaskan panjang lebar apa manfaat membaca. Yang jelas sudah banyak contoh orang-orang sukses karena ditopang dengan bacaan. Lebih luas lagi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa adalah rakyatnya pembaca.

Ketika wacana sastra masuk kurikulum pendidikan tentu kita senang mendengarnya. Seolah-olah ada angin segar di mana spektrum membaca akan lebih luas. Di sanalah seolah ada harapan yang tumbuh. Tapi tunggu dulu, Budayawan Ajip Rosidi sekitar tahun 1984 pernah menjawab bahwa apalah artinya sastra bagi masyarakat yang tidak membaca. Di sinilah muncul kontradiksi bahwa jika sekadar memasukkan informasi dan tanpa didasari kecakapan membaca, sama saja. Mungkin itulah keresahan Ajip Rosidi tempo hari.

Bisa saja kita berpikir, benar juga jika orang sadar akan pentingnya membaca. Mengapa pula ada sebagian kelompok bersusah payah untuk nglapak buku. Tanpa dibayar dan pastinya menyita waktu dan tenaga mereka rela menjajakan buku demi satu hal yaitu membaca. Inilah barangkali potret semu pendidikan kita yang hanya bertumpu pada angka dan penilaian kuantitatif. Padahal ruh utama pendidikan adalah bacaan yang membentuk karakter luhur siswa.

Mungkin bagi aktivis atau pegiat literasi salah satu tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah dengan nglapak buku. Walaupun kita tahu nglapak buku hanya sebagian kerja intelektual kecil. Yang tentu dampaknya juga tidak terlalu luas. Tapi dari itu kita belajar barangkali membaca harus digebrak lewat kesadaran jalanan ala nglapak buku. Yang tentu cara demikian merupakan aktivitas klasik tapi bermanfaat.

Saya melihat kesadaran membaca yang dihelat lewat nglapak buku ibarat semut dan air. Di kalangan akar rumput bisa jadi api besar tak akan padam oleh air setetes yang dibawa semut. Akan tetapi jika puluhan, ratusan bahkan jutaan semut masing-masing membawa air maka tak mustahil api kebodohan akan padam. Di sektor ini memang masih membutuhkan relawan untuk terus mengkampanyekan arti penting membaca. Semoga saja kesadaran membaca terus tumbuh terutama di tengah arus media yang mencemaskan.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde