Langsung ke konten utama

Mengongan Terakhir




Woko Utoro

Di penghujung bulan Juni saya resmi ditinggal para meong. Jumlah mereka 5 ekor dan di antaranya saya beri nama Uthuk. Kucing-kucing itu sangat lucu dan menggemaskan. Apalagi ketika mereka berebut disusui suara meongnya begitu nyaring. Lebih lagi di saat mereka saling berlarian dan bermain bersama imut dan lucunya menghilangkan penat. 

Soal ini pantas saja banyak orang tua yang sayang anaknya. Memang benar kerja keras dan lelah sekalipun langsung hilang ketika mendengar suara anak. Termasuk juga kucing kami yang menggemaskan. Membuat kami beraktivitas begitu semangat. Apalagi ketika kami membawa pulang susu dan makanan tentu membuat mereka kegirangan. 

Tapi semua itu tinggal kenangan. Lima ekor kucing menggemaskan itu harus mati satu persatu dengan nasib yang sama. Awalnya bermula ketika mereka ditinggal mati induknya. Mulai saat itu kami para santri merawat semampunya. Perawatan itu meliputi memberikan susu kucing, pakan dan kandang dari kardus. Hingga kami merasa senang ketika mereka sudah mulai makan makanan padat seperti pellet kucing, ikan goreng dan roti. Tapi sayang setelah itu mereka tidak kuat bertahan. 

Kami menduga para kucing itu tidak kuat karena daya tahan tubuh. Sehingga suhu dingin membuat mereka mengurung dan lemah. Ditambah susu buatan tidak berfungsi menguatkan daya tahan tubuh sebagaimana ASI induknya. Maka jadilah mereka sakit dan tidak nafsu makan. Tidak hanya itu mereka juga diserang kutu dan jamur. Padahal kami juga berikhtiar memberinya semprotan anti jamur. Nyatanya para kucing itu tak tertolong. 

Tentu kini pondok menjadi sepi. Karena tak ada lagi suara kucing yang kadang memanggil kami. Inilah salah satu mengapa anak kucing itu saya beri nama Uthuk. Yaitu berawal ketika kaki kecilnya sering mengetuk-ngetuk pintu untuk meminta susu. Di situlah hal yang membuat saya rindu. Hal di mana mereka saling berebut dan kadang naik ke perut hingga pundak saya. Bahkan kadang ketika saya tidur satu di antara mereka mendekat ke wajah sambil menjilat-jilat dengan geli. 

Kini semua sudah tidak ada lagi. Yang masih ada tentu kenangan dan botol susu serta susuk bubuk. Walaupun kadang sering jengkel karena kotoran dan kencing mereka tapi jika sudah tak ada apa mau dikata. Kucing-kucing kata Abah justru bisa jadi perantara lancarnya rezeki. Tapi kini mereka telah berkumpul bersama di alam sana. Selamat bergabung dan bermain bersama, meong. []

The Woks Institute | rumah peradaban 30/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde