Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar 11 Bondowoso : SPK dan Secercah Harapan dari Tulungagung (4)




Woko Utoro

Dari beragam percakapan ada satu hal yang saya ingat dan itu menjadi pengingat buat diri sendiri. Percakapan itu bernada negatif perihal keberlangsungan SPK sebagai sebuah organisasi. Saya tidak tahu SPK ini organisasi besar atau kecil. Yang jelas tokoh di dalamnya merupakan orang-orang besar terutama di instansi masing-masing. 

Dulu ketika pertama mendengar nama Sahabat Pena Kita (SPK) bayangan saya mengudara. Saya berpikir SPK adalah organisasi besar yang menaungi pegiat literasi seluruh Indonesia. Terlebih ketika mendengar kepengurusan pusat serta cabangnya. Ternyata ketika saya tahu ternyata SPK organisasi yang biasa saja dan mencoba merangkak menjadi luar biasa. 

Tentu saya tahu di manapun menghidupi organisasi itu tidak mudah. Terlebih organisasi kepenulisan semacam SPK yang jalanya terseok-seok. Terutama dalam kegiatan dan pendanaan pun saya kira SPK ini organisasi moloekatan alias berjalan apa adanya. Dalam hal menulis pun awalnya garang dengan pentol merah lalu tradisi kick from group diberlakukan. Tapi lambat laun hal itu menjadi lentur. 

SPK mengembalikan khittahnya pada makna sahabat. Mana mungkin cuma karena tidak stor tulisan seorang sahabat mengeluarkan sahabatnya. Barangkali keyword sahabat menjadi atas bergeraknya grup menulia ini. Hingga akhirnya kita tahu soal kedisiplinan menulis masih belum ditemukan formulasinya. Karena sesungguhnya menulis adalah komitmen individu. Komitmen akan waktu, pikiran dan rangkaian kesibukan. 




Singkatnya ketika kopdar kemarin saya justru melihat SPK justru sedang down. Salah satunya karena makin hari secara kuantitas member grup menulis semakin menyusut. Termasuk dari segi kepengurusan. Untung saja salah satu dari cabang SPK masih eksis hingga kini yaitu Tulungagung. 

Saya sendiri sempat guyon dengan Bu Hitta jika suatu saat butuh tempat berkiblat rasanya Tulungagung siap untuk mewujudkannya. Kami pun tertawa bersama. Tapi faktanya demikian bahwa SPK Tulungagung masih tetap berjalan walaupun mungkin tertatih. Kami pun menyadari bahwa penunjang utama organisasi tak lain adalah kekuatan anggotanya. Tanpa kekuatan dan ketabahan suatu organisasi apapun tak akan kuat bertahan. 




Maka dari itu kami optimis jika SPK masih memiliki pola-pola kerja ala Tulungagung insyaallah grup menulis ini akan tetap berjalan. Intinya pada kunci utama kekuatan kolaborasi. Bahkan dalam konteks lebih luas Mbah Nun sering dawuh mungkin kita pesimis dengan pemerintah tapi kita selalu optimis jika berkaitan dengan rakyat. Sebab rakyat sudah terlatih untuk mandiri, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup. 

Dalam konteks menulis pun sama. Barangkali kita pesimis dengan kuantitas. Tapi percayalah jika kekuatan bisa dibangun secara bertahap. Salah satu bangunan itu sudah berdiri dan dimulai dari Tulungagung. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde