Langsung ke konten utama

Tradisi Romantis




Woko Utoro

Beberapa waktu lalu bapak mengirimkan voice note (VN) di WhatsApp bunyinya begini : "Assalamu'alaikum, selamat ulang tahun anak ku.... " Mendengar VN itu saya senyum-senyum sendiri. Ternyata bapak romantis juga. Ternyata bapak tidak lupa hari kelahiran saya. Tapi tunggu dulu di tengah senyum itu saya membuka VN kedua bunyinya begini : "Ehh, maksud bapak selamat tahun baru Islam". Haha, di situlah akhirnya saya justru tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata dari VN itu justru tidak jadi romantis. 

Di keluarga kami romantis itu memang tidak ada. Dalam tradisi kesalingan pun kami cenderung canggung. Tapi hal itu tinggal bagaimana mengartikan saja. Misalnya setiap hari raya Idul Fitri kami hanya salaman biasa. Seharusnya dalam tradisi Jawa terdapat sungkeman. Sungkeman bagi kami masih belum dilakukan terutama saya dan adik masih begitu canggung. Hanya saja setiap saya pulang dari kota rantau ibu bapak tak pernah lupa untuk saya peluk. Bahkan kadang saya bersujud di bawah telapak kaki ibu. 

Saya tentu saja ada banyak dosa yang diperbuat kepada bapak ibu. Maka dari itu spontanitas saja melakukan permohonan maaf. Sedangkan di momen lebaran bapak ibu akan cipika-cipiki dengan cium pipi kanan kiri dan mencium kening. Seraya memohon maaf antara keduanya saya melihat momen itu begitu romantis. Walaupun mungkin hal itu hanya dilakukan setahun sekali. 

Saya tentu sadar bahwa momen romantis orang desa dan kota sangat berbeda. Jika orang kota romantis itu seperti menjadi keseharian. Misalnya orang yang mengerti parenting atau cara pengasuhan modern biasanya cenderung romantis. Bisa kita lihat ketika seorang ibu atau bapak melepas anaknya ke sekolah. Selain cium tangan tak lupa cipika cipiki, cium pipi kanan kiri, lalu dicium keningnya. Tidak hanya itu kadang diberikan doa sambil ditiupkan ke ubun-ubun si anak. 

Soal keromantisan tentu orang modern lebih jago. Bahkan kadang sering membuat baper. Tapi tradisi romantis apa soal cipika cipiki, pelukan, cium tangan atau mencium kening istri bagi pasangan muda. Menurut saya tidak. 
Romantis itu adalah sebuah kemampuan untuk mengelola perasaan. Misalnya mengapa hal-hal bersifat surprise selalu menjadi hal menarik. Karena kejutan selalu berbarengan dengan momentum. Ketika seseorang ulang tahun, naik jabatan, mendapat beasiswa, juara, hingga wisuda akan selalu menarik ketika ada kejutan. 

Jadi intinya setiap orang memiliki sisi romantisnya. Hanya saja tergantung dari sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Walaupun tidak banyak saya tentu berusaha menjadi pribadi yang romantis. Tentu versi saya sendiri. Versi anda seperti apa, tentukan dulu siapa objeknya haha. 

The Woks Institute rumah peradaban 17/7/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde