Langsung ke konten utama

Puisi Menggendong Perasaan




Woko Utoro

Aku memilih buku sebagai bentuk ekspresi diri. Aku memilih puisi sebagai tempat pelarian. Aku memilih kata-kata sebagai wadah penampung perasaan. Tak terbayang hati seluas samudera ditampung di dalam sebuah gelas kata. Tapi puisi mampu meringkasnya ke dalam padatan kata.

Saat hati hancur aku mencoba memungut serpihannya lalu ku rekatkan menjadi puisi. Kata Mbah Jiwo rugilah ketika air mata tak jadi apa-apa. Rugilah ketika emosi menguap tanpa menjadi sajak.

Ketika perasaan bahagia aku juga tak lupa. Kata-kata ku sedekahkan ke dalam tulisan. Yang tentu aku tahu di sana tak setiap orang mau membaca. Maka aku sering berdoa, "Tuhan rahmatilah kata-kata ku agar manfaat bagi pembaca, agar berguna bagi yang peduli".

Jadi aku memilih puisi sebagai media. Di saat perasaan fluktuatif, naik turun, kuat lemah kata-kata menjelma puisi. Maka puisi itu spektrum dan tak bisa dibohongi. Justru lewat puisi lah kejujuran terkristalkan. Melalui puisi aku berkata jujur dengan diri sendiri.

Yang paling tak kuat ketika musim rindu tiba. Aku tak kuat. Karena di fase ini puisi ku tak berdaya. Puisi ku tergeletak, lunglai dan sepi. Maka dari itu yang membatalkan rindu hanya pertemuan. Itulah doa kecilku, cepat atau lambat kita akan jumpa.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/7/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde