Langsung ke konten utama

Catatan: Pesan Mbah Kakung Itu Penting Ditulis




Woko Utoro

Malam Sabtu 13 Juli 2024 saya bisa mengikuti acara talk show Ruang Inspirasi Sahabat Pena Kita Pusat. Kebetulan saya menjadi operator zoom di acara tersebut. Acara yang sejak awal mengalami kendala sedikit yaitu kesulitan log in dan akses setting aplikasi. Akhirnya dengan bantuan Google zoom pun bisa dioperasikan. Walaupun acara molor beberapa menit dari waktu normal. 

Acara Ruang Inspirasi ini dipandu oleh moderator kece badai yaitu Mas Roni. Sedangkan narasumber kali ini yaitu Mas Agus Novel Mukholis dengan bukunya Tongkat Mbah Kakung (Catatan Inspiratif Saat Lockdown). Mas Novel begitu kami memanggil adalah kakak kelas saat kuliah di jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN SATU Tulungagung (saat itu masih STAIN). Singkat kisah Mas Novel menjadi PNS di MAN 2 Banyuwangi dan banyak melahirkan karya tulis bersama siswa-siswi nya. Kini Mas Novel mengabdi di MAN 1 Tulungagung. 




Mas Novel berkisah bahwa buku tersebut didedikasikan untuk sosok Mbah Kakungnya yang luar biasa. Kebetulan Mbah Kakungnya adalah seorang mursyid tarekat, beliau adalah KH. Zainal Fanani. Mas Novel menulis buku tersebut bersama dengan program Gerakan Guru Menulis Buku (GGMB) Nyalanesia. Prosesnya sekitar 2 bulan terutama ketika pandemi masih merebak. 

Buku Tongkat Mbah Kakung berisi kumpulan artikel tema-tema hikmah, pesan spiritual dan kata bijak. Utamanya dari saripati Mbah Kakung lalu dituliskan oleh Mas Novel hingga jadi buku. Jarang ada kesadaran mendokumentasikan petuah jadi buku dan Mas Novel justru berhasil mengumpulkan mutiara tersebut. Salah satu yang menarik dari buku tersebut adalah petuah Mbah Kakung berisi pesan berpegang teguh pada tali Allah. Jangan khawatir akan masa depan apalagi hari esok. Mas Novel menjelaskan seperti pesan Mbah Tejo bahwa menghina Tuhan itu bukan ketika menginjak kitab suci tapi khawatir besok tidak bisa makan juga merupakan bentuk penghinaan. 

Mas Novel juga mengisahkan sosok Mbah Kakungnya yang luar biasa. Terutama kegigihan nya dalam ngopeni umat. Kata Mas Novel, di saat sakit bahkan berbaring Mbah Kakungnya masih mengajar ngaji Kitab al Hikam ibn Athoillah. Sungguh luar biasa dan hingga wafatnya penuh dengan dzikir kepada Allah. 

Terakhir dari acara zoom Ruang Inspirasi tersebut kita belajar selain pada Mbah Kakung juga kepada Mas Novel sendiri. Terutama spirit literasinya yang sudah tersemai di hati siswa MAN 2 Banyuwangi. Kata Mas Novel jika pendidikan disalurkan lewat hati maka hati pula yang akan menangkapnya. Salah satunya melalui bidang tulis menulis. Kita bisa menulis apapun termasuk, petuah bijak Simbah Kakung. []

The Woks Institute rumah peradaban 15/7/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde