Langsung ke konten utama

Sekelumit Kisah Tentang Drakor





Woko Utoro

Saya ingin cerita tentang Drakor alias Drama Korea atau K-Drama. Cerita ini berdasarkan pertanyaan mengapa setiap perempuan yang saya temui menyukai drakor. Saya bahkan jarang menemukan perempuan yang tidak suka drakor. Entah apa faktornya yang jelas setiap orang memiliki kesan khusus dengan drama FTV/film negeri Gingseng itu. 

Bahkan di sebuah forum Bu Deni (Founder ABM) berkata ke saya, "Saya juga heran mas anak pecinta drakor kok hafal sama nama-nama pemainnya. Padahal wajah aktor Korea itu hampir mirip-mirip lho". Dari pernyataan tersebut saya juga tertawa sendiri. Maklum saja namanya juga suka ya tidak bisa dihindari. Jika sudah ngefans ya tidak bisa dibendung. 

Sebenarnya relasi saya dan drakor tidak begitu kaku. Sebelum istilah drakor populer saya sudah mengenal drama Korea lewat Mba ipar yaitu serial Meteor Garden pada tahun 2001. Mungkin pada saat itu usia saya sekitar 5 tahun. Mba itu sampai-sampai kesengsem hampir tiap hari setiap pulang sekolah selalu membawa poster 4 F yaitu Jerry Yan, Vanness Wu, Ken Chu dan Vic Chou. Bahkan di kamarnya foto berkaitan Meteor Garden penuh dan berantakan sampai nenek saya sering ngomel. 

Ketika saya di usia kini barulah sadar ternyata apa yang disukai Mba bukan drakor tapi drama Taiwan atau ada juga versi Jepang. Ternyata saya keliru begitu lama. Cuma relasi saya dan Korea berlanjut ketika mengenal pemain sepakbola nya yaitu Park Ji Sung, Son Heung Min, Hwang Hee Chan, dan Kwon Kyung Won. Cuma perhari ini saya justru lebih tertarik dengan atlet voli Korea yaitu Daejeon ChengKwanJang Red Sparks terdiri dari Park Hye Min, Jun Ho Young, Han Song Yi, Yeum Hye Seon, Park Eun Ji dll. Saya suka bukan karena kecantikan pemainnya tapi karena efek Megatron Hangestri Pertiwi. Soal selera saya tetap perempuan Indonesia (terkhusus lagi orang Tulungagung ya) haha. 

Lanjut, kadang saya penasaran mengapa perempuan suka drakor. Beberapa saya temukan jawabannya katanya drakor itu relate dengan kehidupan. Selain itu acting pemainnya natural dan menarik ditonton. Bahkan kadang dramatis menguras emosional penonton. Jika dibandingkan dengan sinetron Indonesia tentunya sangat jauh. Apalagi serial di Indosiar atau serial Azab, beuhh penuh tipu-tipu. 

Tapi terus terang saja hingga hari ini saya belum bisa menikmati drakor se-khusyu perempuan. Saya justru lebih bisa menikmati drakor lewat ulasan tulisan. Saya begitu terhanyut ketika membaca narasi jika perempuan Korea selalu berjuang di tengah arus budaya patriarki yang mengakar kuat. Saya sangat respect dan apresiasi terhadap budaya Korea yang saat ini justru toleransi pada diaspora khususnya Muslim Indonesia. 

Bahkan beberapa waktu saya memaksakan mencari rekomendasi drakor apa yang cocok buat tak pelajari. Soalnya kata seorang gadis ada drakor yang tidak melulu soal percintaan. Tapi ada juga drakor tema pendidikan misalnya Law School, Melancholia, High Class, Class of Lies, Crash Course In Romance dll. Ketika saya coba search ternyata saya tidak berhasil apa maksud drakor tersebut. Akhirnya seperti membaca buku saya justru tertidur alih-alih menontonnya hingga khatam. 

Sudahlah akhirnya sampai di titik sepertinya drakor memang bukan dunia saya. Drakor Pink Lipstick tahun 2010 adalah yang terakhir saya tonton. Itu pun saya tidak mengerti jalan ceritanya. Hampir mirip dengan nonton One Piece yang terputus beberapa episode. Maka saya harus akui bahwa setiap orang memiliki kecenderungannya tersendiri dalam banyak hal termasuk menikmati film/drakor. Saya sendiri lebih ke buku sebagai aktivitas mayor dalam minat hiburan dan menempa diri. []

The Woks Institute rumah peradaban 24/7/ 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde