Langsung ke konten utama

Membaca Mengantar Menulis




Woko Utoro

Jika anda takut kegelapan maka teman atau cahaya adalah solusi. Kadang kegelapan memang perlu ditaklukkan oleh teman yang mengantar atau keberadaan cahaya penerang. Kondisi itu percis seperti orang hendak menulis. Awalnya mereka takut, tidak percaya diri hingga gagap dan malu. Lantas membaca, diskusi dan berlatih menjadi solusinya. 

Membaca adalah satu-satunya cara ampuh mengantar seseorang untuk menulis. Tanpa membaca kata para ahli, seseorang tak akan tergerak menulis. Dari bacaan memang selalu mentransmisikan untuk menulis. Karena bacaan mendorong ide lahir sedangkan menulis merupakan daya tampung nya. 

Soal membaca dan menulis seperti satu kesatuan tak terpisahkan. Orang menulis berarti dia pembaca. Mustahil rasanya tulisan dihasilkan tanpa proses membaca. Sudah seperti rumus bahwa membaca melahirkan kata dan bahasa. Semakin banyak orang membaca dalam hal ini buku maka bahasa dan kata akan mengalir deras. 

Bacaan itulah menjadi ciri kaum terpelajar. Jika orang pandai membaca maka tidak hanya soal menulis. Melainkan sikap, tingkah laku, cara komunikasi dan pilihan katanya akan sangat tertata. Manusia pembaca akan selalu bersikap hati-hati dalam setiap langkah hidupnya. Sama halnya dengan menulis. Manusia pembaca akan terus meng-update bahwa tulisan itu berkembang, dinamis dan tak bisa dibendung. 

Jadi jelas sejak dulu syarat menjadi penulis hanya satu yaitu rajin membaca. Tanpa membaca kepenulisan akan kering tak bermakna. Tanpa membaca tulisan seperti miskin arti. Maka dari itu mulai saat ini tanamkan niat untuk membaca. Setelah itu tuliskan hasil bacaan. Karena jalan ninja penulis adalah berawal dari menulis dengan rutin walaupun hanya beberapa paragraf. Itu lebih utama dari sekadar berangan-angan hari ini nulis apa ya? 

The Woks Institute rumah peradaban 31/7/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde