Langsung ke konten utama

Menjadi Instruktur BLK Tulungagung




Woko Utoro


Ini pengalaman mengesankan buat saya. Pasalnya pengalaman ini baru pertama kali. Itu pun aktivitas yang sebelumnya tidak saya geluti. Tapi inilah proses dan saya menikmatinya sebagai media belajar. Semua berawal sejak saya menjadi siswa di BLK Tulungagung tepatnya di Pulosari Ngunut. 


Pada saat itu saya mengikuti pelatihan kejuruan catfish atau budidaya ikan lele. Di sana saya mengikuti kegiatan selama 18 hari atau 160 JP. Singkat kisah saya melewati rangkaian kegiatan hingga ujian dengan baik. Saya pun kenal baik dengan mentornya yaitu Bapak Iwan Pujo Sulaksono. Kebetulan beliau seorang pembelajar dan mengerti orang yang suka belajar. 


Singkat kisah saya dan teman-teman lulus dalam program pelatihan tersebut. Beberapa waktu setelahnya Pak Iwan mengontak saya untuk membantu mengajar di program yang sama. Sontak saja saya kaget karena apa alasan beliau memilih saya. Sampailah di kesimpulan bahwa ini kesempatan langka dan saya pun menerima ajakan Pak Iwan. Saya disekolahkan oleh beliau untuk mendapatkan sertifikat mengajar. Maka sertifikat kompetensi ilmunya dan sertifikat metodologi sebagai syarat mengajar. 


Saya pun akhirnya mengajar di BLK sejak 26 Juni sampai 15 Juli 2024. Selama 18 hari itu saya mendampingi peserta percis seperti yang Pak Iwan lakukan dulu. Awal materi yang terdiri dari persiapan kolam, pembersihan, kualitas air, salinitas, saluran oksigen, pemijahan, penetasan, pendederan, hama penyakit, pakan, hingga panen dan distribusi semua saya sampaikan. Termasuk praktek di lapangan seperti cek kualitas air, membuat kolam bioflog, membuat kakaban, distribusi aerator, menghitung pakan, menyuntik ikan, belajar packing hingga membuat keramba jaring apung juga kami lakukan. Intinya semua terlewati dengan baik. 


Di momen inilah saya juga mengenal orang-orang baru. Mengenal latar belakang mereka hingga arti kekeluargaan. Pokok selama saya di BLK telah dicatat sebagai pembelajaran hidup. Sampai di titik di mana ternyata banyak orang yang peduli dan saling bekerja sama. Angkatan tahun ini pun kebetulan pesertanya unik yaitu suka kerja dan doyan makan. Bahkan ada satu peserta yang pintar masak dan sering membawa masaknya ke kelas. 


Sampai tiba penutupan yaitu family gathering saya pun berterima kasih terkhusus kepada Pak Iwan atas kepercayaannya. Juga kepada peserta yang telah bekerja sama dalam beberapa hari tersebut. Semoga saja apa yang telah kita lalui dapat bermanfaat di kemudian hari. Salam BLK, salam kompeten. []


The Woks Institute rumah peradaban 26/7/24


Dokumentasi foto :











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde