Langsung ke konten utama

Asmara Terhalang Jarak




Woks

Anda mungkin pernah menjalin hubungan dengan seseorang dan menemukan permasalahan. Hal itu sangat wajar dalam sebuah hubungan misalnya asmara. Sebab permasalahan itu muncul karena sesuatu yang tak disengaja. Kita juga tidak bisa memilih permasalahan yang ada dalam sebuah hubungan. Kita hanya bisa meminimalisir permasalahan itu dengan saling berdiskusi mencari solusi. Salah satu permasalahan dalam hubungan asmara yang sering terjadi adalah persoalan jarak.

Persoalan jarak memang tak bisa dielakan karena hal itu merupakan fakta. Tidak sedikit orang gagal menjalin hubungan karena tak mendapat restu orang tua dan salah satu sebabnya adalah jarak. Baik itu jarak secara usia, tempat tinggal atau pekerjaan semua bisa menjadi batu sandungan. Tapi banyak pula contohnya orang yang berhasil bersatu dan jarak bukan menjadi penghalang. Bahkan di ujung dunia sekalipun jika sudah jodohnya maka jadilah.

Saya mencoba mencari tahu mengapa jarak selalu menjadi problem dalam setiap hubungan asmara. Padahal jika dirasio hubungan tersebut sudah di depan mata secara serius. Ternyata ada beberapa alasan mengapa orang tua kadang ragu dengan persoalan jarak. Terutama di Jawa ternyata jarak menjadi pertimbangan karena di sini dikenal pepatah, "Mangan ora mangan sing penting kumpul".

Pepatah itu terasa sangat bernilai dan penting nyatanya di sana mengandung paradoks. Khususnya bagi mereka yang terhalang jarak pepatah tersebut tidak cocok karena mengindikasikan bahwa orang Jawa itu senang berkumpul alias tradisi komunal. Coba bayangkan jika jarak antara mertua dan besanya jauh rasanya sangat sulit untuk intens dalam pertemuan. Di sisi lain orang Jawa juga senang dalam tradisi sowan atau berkunjung saling silaturahmi. Bayangkan juga jika satu dengan lainnya jaraknya jauh maka akan sukar untuk mewujudkan tradisi tersebut.

Selanjutnya orang Jawa juga terkenal memegang erat budayanya. Mereka cenderung menyimpan anak bungsu untuk tetap tinggal bersama orang tua. Tidak hanya itu soal weton atau penanggalan dalam kelahiran pun bisa menjadi problem bagi mereka yang menjalin hubungan. Persoalan jarak padahal kita bisa memilih di antara dua misalnya mana yang disebut jauh antara orang satu kampung tapi beda agama atau beda kampung tapi seagama. Rasanya memang sulit akan faktanya demikian orang lebih mudah menerima soal agama daripada jarak yang berkonotasi pada letak geografis. Jika sudah demikian apalah daya. Bagi orang yang LDR atau memang jelas berasal dari jauh jangan berharap lebih jika menemukan orang tua yang berpikiran kolot. Yang selalu kaku terhadap permasalahan jarak ini.

Lantas bagaimana solusi untuk menengahi persoalan hubungan karena jarak ini. Mungkin pertama harus disepakati bahwa jarak bukanlah penghalang. Bukankah karena cinta dan rasa hormat bisa menyatukan tanpa memandang jarak. Selanjutnya memahami bahwa jarak adalah kondisi yang bisa sangat mungkin terjadi maka hal ini tidak bisa ditolak kecuali dalam sebuah kesepakatan. Terakhir jarak adalah sebuah hal yang niscaya. Karena manusia tersebar ke manapun maka persoalan jarak merupakan sunnatullah. Dengan demikian baik itu jarak maupun pekerjaan semua bisa disiasati asalkan kita mau menyadari dan saling menghormati. Jika jarak terus-menerus menjadi problem lantas di manakah rasa cinta. Bukankah cinta menjadikan yang jauh jadi dekat, yang hilang menjadi kembali dan yang mati selalu terkenang dan hidup.

the woks institute l rumah peradaban 11/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde