Langsung ke konten utama

Catatan Haul Akbar Pondok Pesantren Panggung 2022




Woks

Haul akbar Pondok Pesantren Panggung Tulungagung kembali digelar. Setelah dua tahun dahaga tak ada haul kini terbayar sudah. Hal itu terbukti dari banyaknya jama'ah yang hadir termasuk perolehan kencleng alias kotak infaq yang bertambah. Menurut panitia kotak infaq biasanya hanya di kisaran 5-7 juta tapi saat ini justru mencapai 12 juta lebih.

Adanya haul tahun ini tentu disambut baik oleh siapapun khususnya jama'ah. Salah satu jama'ah sholawat nariyah asal Malang mengatakan bahwa kami dari jauh datang ke sini hanya ingin ngalap berkah mualif aurad shalawat nariyah yaitu tiga serangkai KH. Asrori Ibrohim, KH. Syafi'i Abdurrahman dan KH. Abdul Aziz. Menurut KH. Harun Ismail Blitar dalam mauidhoh hasanahnya menyebutkan bahwa aurod shalawat nariyah tersebut bersambung sanad kepada KH. Mahrus Ali Lirboyo dan KH. Zainuddin Mojosari Nganjuk. KH. Harun juga menambahkan bahwa acara haul seperti ini memang disediakan sebagai sarana penyembuhan jiwa. Jangan khawatir akan hukum peringatan haul yang jelas setiap imam madzhab membolehkannya bahkan hukumnya sunnah.

Sebagai seorang jama'ah sekaligus pernah nyantri di pondok ini saya tentu sangat senang. Pasalnya saya bisa bertemu kembali dengan kawan-kawan yang juga pernah mondok di sini. Sejak sore ba'da magrib saya dan Pak Nur memang sengaja datang ke acara ini tak lain untuk bersilaturahmi sekaligus tabarukan Mbah Asrori wa ahli baitihi. Rasanya senang sekali karena walaupun santri silih berganti tapi di antara kita masih saling mengenali bahkan saya berkesempatan bersalaman dengan para guru, Ustadz Mustamsikin Khoiri dan Abah Damiri.

Rasa bahagia itu juga terpancar sejak awal aurotan shalawat nariyah di mana kami mendengar suara para dzuriyah dengan puasnya seperti Gus Huda, Gus Rofiq, Gus Fatullah, dan Gus Rohman. Selain itu Bu Nyai Asrori Ibrohim pun dalam keadaan sehat wal afiat. Rasa bahagia itu saya lengkapi dengan catatan lainya.

Pertama, Pondok Panggung adalah pesantren tradisional yang masih eksis di era modern. Sejak 1953 era langgar panggung hingga saat ini tidak merubah cara pengajarannya termasuk aurotan shalawat nariyah. Pondok yang berada di tengah kota tersebut memang sangat bersejarah utamanya ketika Tulungagung dilanda banjir.

Kedua, aurotan shalawat nariyah lahir atas dasar ketiga pendiri juga sama-sama mengamalkannya. KH. Asrori Ibrohim adalah guru sekaligus kaka ipar dari KH. Syafi'i Abdurrahman, sedangkan KH. Abdul Aziz (Pendiri Pondok MIA) adalah murid dari kedua beliau itu. Jadi secara kesanadan ketiganya sama-sama bersambung kepada para gurunya.

Ketiga, mayoritas jama'ah shalawat nariyah adalah perempuan. Entah bagaimana ceritanya yang jelas faktanya demikian. Setiap kali rutinan di berbagai tempat pun perempuan memang mendominasi. Analisis sederhana yaitu perempuan lebih tahan daripada laki-laki. Bisa dibayangkan acara dimulai sejak magrib dan selesai bisa sampai jam 9 malam. Rasanya jika jama'ah laki-laki ingin segera pergi untuk merokok atau ngopi.

Keempat, Pondok Panggung salah satu pesantren yang kuat mujahadahnya. Kata guru kami kalau tidak digerakkan oleh Allah melalui mujahadah shalawat nariyah mungkin pondok ini sejak lama sudah jebol. Betapa tidak, pondok ini berdiri sekaligus diapit di antara bangunan pertokoan megah milik pengusaha Tionghoa. Kita tentu tahu pergulatan batin di antara fenomena ini pasti terjadi. Saya ingin dulu semasa masih mondok kita sering membacakan nariyah dengan media garam sebanyak 4444X. haha.

Barangkali demikianlah catatan yang saya dapatkan dari perjalanan hadir haul Pondok Panggung tahun 2022 ini. Untuk mengetahui isi ceramah KH. Harun Ismail anda bisa cek di YouTube : https://youtu.be/93gPPeC1NwE. Cuma yang hilang di haul tahun ini adalah tradisi menjual kalender dan stiker. Dulu kalender menjadi daya tarik tersendiri karena selain memuat tanggalan di sana juga terdapat foto masyayikh dan gawagis termasuk kalam ulama. Semoga saja kita mendapat keberkahan dan diakuti oleh para guru-guru sebagai muridnya. Amiin

the woks institute l rumah peradaban 30/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde