Langsung ke konten utama

Idul Qurban Yang Berkesan




Woks

Perayaan Idul Adha tahun ini 2022 barangkali merupakan momentum yang paling berkesan. Pasalnya sejak 2 tahun lebih kita melaksanakan Idul Qurban dengan begitu sepi diterpa pandemi dan kini hidup kembali. Tahun ini saya begitu menikmati momen penyembelihan hewan qurban satu tahunan tersebut. Tentunya momen seperti itu tidak didapatkan di tahun yang lalu.

Dulu saya hanya lebih banyak melihat dan minim sekali berperan. Tapi di tahun ini sejak mulai hewan qurban datang sampai proses distribusi semua saya ikuti. Seperti biasanya pondok akan menyembelih satu hewan qurban jenis kambing dengan bobot yang lumayan besar dan pastinya sehat.

Awal mulai saya shalat Idul Adha di Perumahan Graha Asri Utomo Ringinpitu. Di sana saya didapuk sebagai bilal atau orang yang mengumandangkan takbir atau bisa juga muraqi orang yang menyeru dengan bacaan ajakan berkaitan dengan mendengarkan isi dua khutbah. Setelah usai saya pun mengikuti jamuan sarapan pagi yang disediakan oleh warga perumahan. Setelah usai saya langsung bertolak ke pondok untuk mengikuti sesi pemotongan hewan qurban.

Di tahun sebelumnya biasanya saya hanya melihat atau menjadi tukang foto. Akan tetapi di tahun ini saya terlibat aktif. Yang paling saya ingat adalah ketika Abah menyuruh saya untuk memegang kepada kambing seraya menutupi matanya dengan telinganya. Setelah itu kami diperintahkan untuk mengumandangkan takbir selama proses penyembelihan. Tak lupa kita juga bersaksi bahwa kambing tersebut merupakan qurban dari si fulan.

Tanpa banyak waktu proses pun dimulai. Di sana saya agak gemetar pasalnya baru pertama ini bisa ikut dalam penyembelihan secara langsung. Ada darah yang terus mengalir, ada takbir yang tak henti dilantunkan, ada pisau yang menghujam di antara leher hewan. Saya pun tak kuasa, menyeka air mata yang alamiah keluar membasahi pipi. Betapa kita diingatkan bagaimana ketija dulu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya Ismail. Dan bagaimana ketegaran Ibunda Hajar melihat putra tercintanya harus rela dikurbankan. Tapi semua ternyata terlewati karena mereka adalah keluarga pilihan Allah.

Bagaimana menjadi seorang ayah yang ikhlas seperti Ibrahim di tengah lamanya menanti momongan, bagaimana tegarnya seorang Hajar di tengah kerelaanya mengorbankan Ismail dan bagaimana menjadi anak yang baik ala Ismail itu sendiri. Tentu semua sudah bagian dari skenarioNya dan kita tinggal mengambil pelajaran darinya. Akhirnya dari proses itulah saya terus belajar akan arti ketabahan, keikhlasan, pengorbanan, dan ketenangan.

Hingga akhirnya saya pun terlibat dalam proses menguliti, memotong hingga membersihkan jeroan hewan tersebut. Pada proses kali ini kami beruntung karena hewan qurban tersebut tidak berbau amis. Tidak seperti biasanya yang secara umum hewan qurban itu bau prengus. Mungkin inilah efek pemotongan yang dilakukan secara baik, meliputi niat, pisau tajam, perlakuan jagal, dan doa.

Di sesi membersihkan jeroan hewan teman kami berseloroh, "Inilah Mas kita belajar bahwa jeroan hewan hanya makan satu makanan yaitu rumput. Sedangkan baunya bisa seperti ini bayangkan jika ini isi perut manusia yang apa saja dimakan pastinya teramat bau sekali. Makanya tidak salah jika jasad manusia harus dikubur secara lebih dalam karena memang bau. Lantas dengan begitu apa yang mau disombongkan". Setelah berakhir mencuci jeroan kami pun menuju ke bagian pemotongan lalu menimbang dan menghitung hingga mendistribusikan daging tersebut kepada warga sekitar. Hewan-hewan telah berkurban lantas apakah kita telah mengkurbankan sesuatu?

the woks institute l rumah peradaban 12/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde