Langsung ke konten utama

Menggali Babad Desa Untuk Kemakmuran dan Menangkal Radikalisme




Woks

Beberapa orang teman berkisah bahwa kesibukannya saat ini adalah sedang menggarap proyek babad desa. Katanya proyek babad desa ini harus segera direalisasikan karena betapa pentingnya. Saya pun lantas berpikir pantas saja saat ini proyek menuliskan sejarah desa sedang digarap dengan serius. Apakah ini faktor penyeimbang di era modern atau memang karena betapa urgennya.

Saya memang menyaksikan saat ini penggarapan babad desa sedang bergeliat salah satunya yang digawangi oleh kalangan sejarawan dan aktivis pecinta budaya leluhur. Menurut mereka saat ini orang sudah mulai amnesia terhadap desanya sendiri padahal kata Mbah Nun tidak ada negara jika tidak ada desa. Karena desalah yang melahirkan negara, desa akan lebih tua usianya daripada negara. Hal itulah salah satu alasan mengapa anak muda harus berperan aktif dalam penggarapan proyek ini.

Menurut teman saya saat ini selain virus F4 (fashion, food, fun, film) juga tak kalah mengkhawatirkan yaitu terpapar radikalisme. Salah satu corong masuknya radikalisme adalah melalui pelajaran yang ada di sekolah-sekolah. Tidak hanya itu internet sebagai penyedia jasa instan malah menjadi rujukan pemuda mendalami agama. Padahal internet hanya sekadar sarana dan untuk mendalaminya tak lain ya di pesantren. Pemuda memang demikian sejak dulu masih perlu bimbingan jika tidak bisa kehilangan tali kemudi akibatnya mudah terkena indoktrinasi.

Paham radikal saat ini merasuk sangat mudah selain lewat bacaan juga masuk lewat gerakan berbasis masjid, pemuda sosial hingga sekolah alam. Salah satu narasi yang sering dilontarkan yaitu perihal dekadensi moral akibat dunia modern, selain itu bobroknya demokrasi mengharuskan seseorang untuk jihad memperjuangkan agar negara berideologi Islam. Menurut mereka hanya Islam dan kembali pada al Qur'an sunnah adalah solusi utama. Lewat polarisasi tersebut akhirnya ghiroh anak muda bergeliat dan memang menyulut api pergerakan.

Pergerakan itu salah satunya datang dari kalangan intelektual dengan gagasan revisi sejarah kembali ke akar Islam dan pembaharuan. Pandangan para pembaharu Islam seperti Jamaluddin Al Afghani, Sayyid Qutub, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Abu A'la Almaududy menjadi konsumsi utama. Puncaknya yaitu pasca runtuhnya orde baru di mana geliat gerakan Islam mencuat kepermukaan. Dari sanalah akhirnya sejarah dibenturkan atau mencari titik temu bahwa di balik terbentuknya negara juga banyak dari kalangan islamis.

Bagi anak muda atau orang awam yang mudah kepincut ideologi usang bawaan dari luar itu akan mudah menarik diri dan krisis ketajaman berpikir. Salah satunya ketika berdiskusi sejarah mereka akan mengeluarkan pendapat berdasarkan literatur bacaanya. Di sinilah titik temu betapa sejarah desa bisa menjadi tawaran menarik untuk meluruskan sejarah tersebut.

Babad desa memang selama ini masih bersifat tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Akan tetapi dewasa ini masih banyak di antara kita yang tidak mengetahui sejarah desa tempat di mana orang tua dulu dilahirkan. Jika sejarah desa digali pastinya berpengaruh terhadap masa kini. Pengaruh tersebut tentu mengarah pada banyak aspek mulai dari sosial, budaya, ekonomi, politik hingga pandangan keberagaman. Tantangan saat ini adalah desa memasuki era baru berupa masuknya pengaruh tradisi kaum urban. Desa terasa seperti perkotaan di mana masyarakat begitu asing dengan tempat kelahirannya sendiri. Hal itulah yang barangkali menjadi kegamangan sebagian orang bagaimana desa dinarasikan melalui catatan sejarah.

Desa yang lekat dengan tradisi komunal kini justru berangsur luntur menuju tradisi individual. Sehingga kekhawatiran itu harus segera ditanggulangi salah satunya lewat menggali kembali sejarah dan kearifan desa yang telah berkembang lama. Jika pandangan ini diakomodir dengan baik maka tak dapat dipungkiri bahwa babad desa perlu penggarapan secara serius. Tujuannya tak lain untuk menjadi warisan tak ternilai di masa mendatang. Jika generasi penerus melek akan sejarah desanya mereka pasti terhindar dari virus radikalisme yang kian hari mengintai.

the woks institute l rumah peradaban 29/7/22


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde