Langsung ke konten utama

Bazar Konfercab Muslimat NU Tulungagung 2022




Woks

Tidak asyik jika perjalanan kali ini tidak saya tulis. Pasalnya hari ini saya punya pengalaman seru dalam perhelatan Konfercab Muslimat NU Tulungagung. Setelah beberapa hari saya dikabari Bu Hj. Roudhoh mewakili PAC Muslimat NU Kauman untuk ikut membantu dalam bazar partisipasi acara konfercab. Saya tentu menyambut secara antusias dan selalu siap sedia.

Akhirnya acara konfercab pun berlangsung pada Ahad, 17 Juli 2022 yang bertempat di UIN SATU Tulungagung gedung KH. Arief Mustaqiem lantai 6. Sejak pagi saya sudah bersiap menuju lokasi ditemani Mas Philips kami pun bergegas. Sesampainya di sana kami langsung menata segala macam barang keperluan bazar. Ternyata di luar dugaan kami para peserta sudah hilir mudik dalam menata jualan mereka di meja stand yang sudah disediakan panitia.




Saya melihat semangat ibu-ibu atau emak-emak memang luar biasa apalagi jika berkaitan dengan dandanan dan jualan pasti mereka antusias tinggi. Pakaian batik hijau-hijau sudah mulai memadati ruangan lantai 1 dan pastinya riuh. Salah seorang ibu muslimat mengatakan bahwa, "Jika sudah ada barisan hijau-hijau pasti nampak semangat dan segar". Saya juga mengira demikian bahwa semangat emak-emak memang luar biasa. Pantas saja jika Menhan Prabowo Subianto mengatakan dalam sambutannya pada acara Kongres Fatayat NU XVI di Palembang bahwa, "Emak-emak itu penguasa negeri dan saya selalu grogi di depan mereka".

Hari semakin siang dan suasana bazar pun begitu ramai. Sebelum itu kami juga sempat kena gojlokan dari salah seorang ibu yang berpangkalan di PAC Muslimat NU Ngunut. Kata saya, "Bu tidak ada dagangan hidup to?", "waduh anak saya masih semester 3 mas", jawab si ibu. Kami pun akhirnya tertawa, dasar jomblo ya bisanya manuver. Setelah kami menata barang dagangan PAC Muslimat NU Kauman, sesi selanjutnya adalah sarapan pagi. Kami sarapan dengan menu pecel Mbok Modin plus teh hangat yang khas itu. Setelahnya kami turut membantu panitia untuk merapihkan beberapa meja dan menata jajan untuk tamu. Setelah itu barulah kami boleh meninggalkan tempat acara. Kebetulan kami tidak mengikuti acara seremonial di lantai 6 dan kami pun langsung kembali ke pondok.

Setalah jam 13:15 saya sendiri menuju ke tempat bazar. Kebetulan kali ini saya membantu untuk berkemas-kemas karena telah usai. Walaupun demikian suasana riuh masih sangat terasa maklum saja emak-emak tidak bisa dikondisikan. Saya melihat hampir semua produk yang dijajakan oleh setiap PAC Muslimat terjual laris manis. Saya bahkan tidak sulit menemukan ibu-ibu memborong jajanan hingga buah durian. Bahkan produk hijab sampai serok sampah yang terbuat dari bambu juga ikut terangkut. Begitulah ibu-ibu walaupun rempong mereka semangat padahal datang dari jauh hanya mengendarai elf carteran.

Ada momen lucu saat kepulangan mereka dan tentu saya menjadi sasaran. Seorang ibu dari PAC Muslimat NU Sendang menawarkan produk jamu kunir dan kencur. Saya sekilas berpikir jangan-jangan ini gratisan karena menyisakan 4 buah. Ternyata ketika saya ambil satu beliau langsung berkata, "Mas 5 ribu saja, ohh iya ambil dua ya". Saya berpikir satu saja tak kira gratis ternyata bayar haha. Pada akhirnya saya membeli bukan karena kasihan lebih tepatnya saya malu soalnya saya sangka gratis haha. Akhirnya acara pun usai dan saya pun pamit sambil pringas-pringis membawa jamu serta amplop dari Bu Hj. Roudhoh.

Setiap acara yang dihelat ibu-ibu saya selalu mendapat ilmu pertama, soal keceriaan. Mereka memang selalu membawa aura yang ceria. Kedua, kami pasti tidak pernah takut kelaparan karena ibu-ibu itu rajanya perhatian. Ketiga, selalu ada momen unik misalnya gaya rempong, so eksis dan pastinya doyan jajan. Keempat, ibu adalah pilar negara jika kaum ibu berdaya maka negara pun akan kuat. Kelima, peran kaum ibu tentu merupakan aset luar biasa. Jika dulu mereka statis dan hanya menjadi lumbung suara politik saat ini justru mereka turut serta turun gelanggang memainkan peranan politik tersebut. Maka dari itu ibu selain menjadi madrasah bagi anaknya mereka juga menjadi pendamping bagi suami dan tentunya berjuang bagi agama, bangsa negeri. Kita ingat era merebut kemerdekaan bagaimana para ibu juga turut angkat senjata dan kini jihad kita tentu berbeda. Kini saatnya mewarisi dan meneruskan perjuangan dengan medan yang berbeda. Sesuai dengan tema yaitu, penguatan Aswaja dan optimalisasi potensi Muslimat NU Tulungagung di era digital menuju satu abad NU.




Terakhir saya mengucapkan selamat kepada Ibu Nyai Dra. Hj. Miftahurrochmah, M.Ag yang kembali terpilih menjadi nahkoda Muslimat NU Tulungagung periode 2022-2027. Majulah kaum Ibu Muslimat dan tetap riang gembira.

the woks institute l rumah peradaban 17/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde