Langsung ke konten utama

Sekolah dan Pabrik (4)




Woks

Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang diyakini mampu membuat peserta didik menemukan potensinya. Untuk menemukan potensi tersebut tentu membutuhkan waktu yang lama. Tidak hanya itu pengentasan akademik meliputi baca tulis, ibadah, seni, olahraga hingga kemandirian bahkan memakan waktu berjenjang mulai dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi. Intinya bahwa sekolah itu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Dunia pendidikan seperti yang diketahui tentu masih menyisakan PR yang banyak. Tidak hanya soal peserta didik tapi juga soal kesejahteraan guru. Masalah kesejahteraan itulah baik di dunia pendidikan maupun pabrik juga sama. Selama ini dunia pendidikan belum mampu membuat guru nyaman di dunianya. Kita mungkin masih mendengar kisah guru yang memprihatinkan hidupnya tapi tetap semangat mengajar. Mencerdaskan kehidupan bangsa memang membutuhkan pengorbanan.

Ada hal unik sekaligus polemik di tubuh pendidikan kita terutama sekolah berbasis agama yang berlandaskan pada dakwah. Alih-alih ingin mengembangkan agama justru dakwah menjadi senjata sekaligus tujuan utama. Akibatnya ragam alasan mampu dipatahkan demi membenarkan usaha dakwah tersebut. Jadi seolah-olah dakwah adalah segalanya dan sekolah menjadi sarananya. Salah satu hal yang membuat karyawan tertekan adalah diberlakukannya absen dan pastinya mempengaruhi gaji.

Tekanan berupa ancaman potong gaji tentu sering dijumpai di pabrik. Akan tetapi di sini kita dapati sekolah yang demikian di mana karyawan diperlakukan sama. Akibatnya kecemburuan sosial terjadi di antara karyawan. Bahkan doktrinasi bahwa sekolah lebih utama dan keluarga dinomorduakan mencuat sebagai alasan dakwah karena Tuhan. Padahal kita tahu bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga begitu penggalan syair Bunga Citra Lestari. Bagaimana pun juga keluarga tetap yang utama dan tidak bisa dikesampingkan cuma karena alasan dakwah. Jika pun dakwah merupakan kewajiban agama tentu itu di luar kesepakatan karena sekolah bagaimana pun bertugas mendidik secara internal. Persoalan eksternal tentu memiliki dimensi yang berbeda.

Jika persoalan pendidikan dicampuradukan dengan narasi dakwah eksternal tentu akan banyak ketimpangan terjadi. Misalnya pemangkasan waktu yang tidak sesuai antara urusan dakwah dan pendidikan. Akibatnya karyawan akan berpikir mengenai waktu, tugas dan pesangonnya. Namun bagi pengelola tidak mau tau bahwa semua karyawan harus menaati peraturan karena alasan peserta didik dan pengembangan dakwah adalah utama. Jika sudah begitu karyawan tak memiliki kuasa apapun selain kelas bawah yang statis. Hal itu seperti telah lama diungkap oleh Karl Marx bahwa diskriminasi terjadi karena adanya kelas kuasa alias strata sosial masyarakat.

Pihak pengelola merasa berkuasa penuh atas segala program yang mengatur peserta didik dan karyawan. Hal itu tak lain karena peran kuasa dan modal. Bahkan menurut Anthony Gramscy moral dan agama merupakan klaim kebenaran yang melahirkan kuasa sosial. Klaim sepihak itulah yang menjadi senjata utama membuat karyawan tidak bisa berkutik. 

Soal kedisiplinan bagi pengelola merupakan momok utama untuk dibenahi. Ibarat pabrik mereka tidak ingin dirugikan dengan kinerja karyawan yang memangkas produksi. Oleh karenanya atas kuasa dan peranan politik karyawan bisa dikendalikan. Masalahnya kadang muncul kesewenangan atas dasar tugas, hak dan kewajiban. Lantas jika diperlakukan sistem kerja yang tidak sesuai dengan waktu apakah hal itu bisa disebut ketidakadilan.

Teori ekonomi paling liberal sekalipun mengakui bahwa untuk mendisiplinkan karyawan adalah dengan mensejahterakannya bukan malah menyengsarakan misalnya karyawan diperlakukan dengan potong gaji. Coba jika mereka disejahterakan maka akan timbul rasa iba dalam diri sekaligus berpikir akan memperbaiki diri. Orang sejahtera itu akan cenderung tenang dan nampak bahagia jika dua kondisi ini ada maka akan sangat mudah untuk berpikir. Akan tetapi sebaliknya jika tekanan serta target tidak sesuai dengan angan-angan bersama maka bersiaplah kemunduran segera tiba. Hal itu tak lain karena kebebasan berpikir sudah mandek oleh sikap pemimpin yang otoriter.

the woks institute l rumah peradaban 26/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde