Langsung ke konten utama

Dzulhijjah Bulan Keluarga




Woks

Kami kemarin berkesempatan hadir di Majelis Sabilu Taubah pimpinan Gus Muhammad Iqdam. Majelis yang beralamat di Karanggayam Srengat Blitar tersebut menarik perhatian kami. Pasalnya di sana majelis gaul dan sangat milenial. Pengajian tersebut memang mayoritas jama'ahnya adalah anak muda. Terutama anak muda yang sedang mencari identitas diri.

Pada kesempatan kali ini seperti biasanya Gus Iqdam membuka kitab sekaligus awal pengajian di bulan Dzulhijjah. Kebetulan di momen tersebut beliau menjelaskan seputar keutamaan bulan Dzulhijjah. Bulan yang disebut juga bulan haji, bulan qurban dan tentunya bulan besar. Bagi Gus Iqdam bulan Dzulhijjah juga bisa disebut bulan keluarga. Karena di sana terdapat peristiwa besar mengenai Nabi Ibrahim beserta keluarganya yang diabadikan dalam al Qur'an.

Bulan keluarga ini sangat cocok dijelaskan khususnya kepada jama'ah yang notabene anak malam penikmat kopi itu. Kita mengingat di bulan Dzulhijjah ada hari tarwiyah yang berarti ragu. Hari tarwiyah tersebut di mana Nabi Ibrahim mengalami goncangan luar biasa perihal mimpi perintah menyembelih putranya Ismail. Lalu akhirnya besok harinya terdapat arafah atau pengetahuan. Hari arafah adalah waktu di mana keyakinan Nabi Ibrahim menguat bahwa perintah tersebut murni wahyu dari Allah SWT. Hingga akhirnya keluarga Nabi Ibrahim sepakat termasuk Ismail yang akan dikorbankan dan Sayyidah Hajar sebagai ibu berpasrah pada keputusan dari Allah SWT. Akhirnya tepat pada 10 Dzulhijjah adalah puncak di mana kepasrahan, keikhlasan dan tunduk patuhnya keluarga Nabi Ibrahim dibalas oleh Allah di hari raya Idul Adha. Hari di mana Nabi Ismail diganti korbanya oleh malaikat dengan domba Qibbas.

Bisa dibayangkan betapa ikhlas dan pasrahnya orang tua Nabi Ibrahim dan Sayyidah Hajar ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya. Betapa taqwanya Ismail ketika perintah itu sampai padanya. Betapa tabahnya Sayyidah Hajar ketika berlari-lari untuk mencari air di padang tandus serta banyak hal lainya yang ada dalam ibadah haji. Segala hal yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya semua diabadikan Allah dalam ritual ibadah haji yang tiap tahun dikunjungi jutaan umat. Kita dapat belajar dari keluarga Nabi Ibrahim yang penuh keikhlasan itu, kata Gus Iqdam. Demikianlah keluarga yang ikhlas lillahi ta'ala hanya kepada Allah akan diberikan maqam yang mulia seperti halnya Nabi Ibrahim putra dan istrinya.

Pada perhelatan sit down religi itu Gus Iqdam juga berpesan agar jama'ah yang sedang jauh dengan keluarga ayo ditata kembali komunikasi dan hubungannya. Jika bicara tidak hanya di majelis akan tetapi dengan orang tua diusahakan boso alias memakai bahasa halus. Hormati orang tua dan yang pasti berusaha untuk membahagiakan mereka. Jangan lupa pula untuk mengingat Nabi Ibrahim yang begitu ikhlas dalam menerima takdirNya. Perlu dicatat pula bahwa akhirat itu butuh dunia akan tetapi jangan sampai kedunyan alias kebablasan.

Terakhir Gus Iqdam mengajak kepada jama'ah untuk bersama-sama berdoa berharap mendapat keberkahan ahlu haji, bulan Dzulhijjah dan tentunya Nabi Ibrahim sekeluarga. Beliau menukil sebuah kitab yang menyebutkan hadits bahwa do'a bisa sangat maqbul di 4 waktu yaitu, malam Jum'at, malam pertama bulan Rajab, malam Nisyfu Sya'ban, dan malam dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Semoga kita semua mendapat kemuliaan mereka semua para sholihiin. Amiin.

the woks institute l rumah peradaban 7/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde