Langsung ke konten utama

Catwalk dan Tradisi Santri Putri




Woks

Jagat medsos kembali ramai setelah beberapa waktu pemberitaan mengenai Citayam Fashion Week (CFW), di mana segerombolan anak muda berlenggak-lenggok laiknya para model. Fenomena anak muda yang butuh ruang berekspresi itu akhirnya viral begitu media menyebutnya. Mereka memanfaatkan zebra cross alias garis penyebrangan menjadi panggung catwalk dengan peragaan busananya. Dari fenomena CFW dan anak mudanya kini kawasan Dukuh Atas itu menjadi ramai.

Saya tidak melihat keramaian itu akan tetapi saya lantas berpikir bagaimana tradisi catwalk pertama kali lahir. Kita mungkin pernah membaca ternyata tradisi catwalk awalnya berasal dari Paris Prancis. Di kota mode dunia itulah peragaan busana oleh para model pertama kali diperkenalkan. Lalu perayaan fashion week secara resmi dan besar justru pertama kali digelar di New York. Hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia sejak dari Paris, New York, London, Milan, hingga Arab Saudi.

Catwalk memiliki arti jembatan penghubung antara dolphin pada dermaga menuju geladak kapal. Arti lain berarti tangki atau mesin. Lantas mengapa disebut catwalk? ternyata peragaan busana tersebut sang model harus berjalan dengan aturan sedemikian rupa. Mereka juga harus memperhatikan ekspresi wajah, serta lenggak-lenggok yang berkharisma. Cara berjalan dengan aturan khusus itulah akhirnya melahirkan istilah catwalk atau seperti kucing yang penuh kharisma.

Tujuan catwalk tak lain dalam rangka marketing atau tidak sekadar peragaan busana. Justru dari event yang mempertontonkan busana tersebut mode fashion sangat berkembang pesat. Inilah yang disebut mempengaruhi trade fashion dunia. Satu catatan dari para model yaitu mereka diusahakan harus berwibawa dalam berjalan, dilarang senyum dan mengatur tinggi rendahnya dagu. Karena bagi orang Eropa jual mahal dan fokus itu justru bagian dari kewibawaan.

Seni catwalk memang demikian yang sebenarnya mengajak pemirsanya untuk fokus pada busana yang dikenakan, bukan menikmati tubuh. Tapi amat disayangkan para model catwalk memang mayoritas perempuan yang memiliki daya sensual sedangkan laki-laki masih sebagai pelengkap. Mungkin kita menerka ternyata peristiwa Nabi Yusuf Alaihissalam yang dipaksa berjalan di hadapan tamu kalangan bangsawan Zulaikha merupakan catwalk pertama dalam sejarah. Di mana Nabi Yusuf dipaksa memamerkan ketampanannya di hadapan para istri raja itu. Singkat kisah banyak para istri raja terbelalak melihat keanggunan paras Nabi Yusuf sekaligus membuat mereka tanpa sadar mengiris jarinya sendiri.

Soal catwalk ini pikiran kita berkembang ke dunia pesantren khususnya santri putri yang bertugas di ndalem kasepuhan kiai. Jika ada santri putra ada orang luar mencari pasangan di pondok biasanya kita mengenal istilah ta'aruf atau "melihat". Salah satu cara kiai memperlihatkan calon pasangan tersebut adalah dengan catwalk di ndalem. Mereka akan dipanggil dan diminta untuk membuatkan wedang baik berupa teh, kopi atau air putih. Dari peragaan menyuguhkan hidangan itulah kita anggap sebagai catwalk. Setelahnya baru santri yang mencari pasangan itu akan diperkenankan berkomunikasi lalu jika sudah cocok maka tak lama langsung diadakan lamaran. Di pesantren tradisi demikian memang tidak membutuhkan waktu lama jika di antara keduanya telah cocok maka jenjang pernikahan yang lebih serius segera dilangsungkan.

Demikianlah sekilas mengenai catwalk di mana cara ini tidak selalu dianggap negatif. Intinya ada sisi di mana cara demikian merupakan metode santri menunjukkan kualitasnya. Mengapa sekali bertemu bisa langsung cocok tak lain karena perempuan memiliki inner beauty yang terpancar dalam diri. Sekalipun ditutupi oleh kain tebal perempuan tetaplah perempuan alias mahluk yang istimewa. Dari sanalah lelaki bisa membaca lebih lagi ketika catwalk dilangsungkan.

the woks institute l rumah peradaban 26/7/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde