Langsung ke konten utama

Catatan Haul Akbar Pondok PETA 2023




Woko Utoro

Alhamdulillah tahun ini saya masih diberi kesempatan untuk hadir kembali di Haul Pondok PETA ke-54. Setelah 3 tahun absen karena pandemi kini penyelenggaraan haul secara offline digelar kembali. Tentu hal itu adalah yang diidam-idamkan oleh hampir semua jamaah. Begitulah kiranya secara psikologis kita melahirkan rindu ketika benar-benar telah kehilangannya.

Singkat kisah saya berangkat selepas isya bersama teman-teman pondok. Sampai di sana jamaah sudah membludag, berjubel saling mencari tempat. Seperti biasa haul Pondok PETA memang salah satu yang khas terlebih letaknya di pusat kota. Demikian menariknya sampai-sampai banyak jamaah hadir dari luar kota rela duduk lesehan demi ngalap berkah shohibul haul.

Haul kali ini yaitu memperingati 54 tahun wafatnya Hadratus Syeikh KH Mustaqim bin Husein, 36 tahun Nyai Hj Sa'diyah binti H Rais dan 19 tahun Hadratus Syeikh KH Abdul Djalil Mustaqim dengan membawa tema, "Jangan Berpaling Dari Sesuatu Sebelum Kau Mengenal Segala Sesuatu". Tema tersebut selalu menarik dikupas karena memang orang thariqah selalu mengajak ingat kepada Allah SWT.

Beberapa hal menarik dari haul tahun ini adalah : ternyata dalam catatan KH Purnawan Bukhori yang diberikan langsung oleh KH Abdul Djalil Mustaqim bahwa Sudancho Supriyadi Blitar sering berkonsultasi kepada Syeikh KH Mustaqim bin Husein ketika menghadapi kegentingan. Bahkan dikatakan bahwa Supriyadi sebenarnya adalah panglima TNI pertama yang diangkat Bung Karno. Tapi saya karena beliau tak diketahui selama 3 bulan lebih maka posisinya digantikan oleh orang lain.

Selanjutnya pesan KH Haidar ketika penyampaian manaqib Syeikh Abil Hasan As Syadzily ra bahwa beliau ketika menghadap gurunya Syeikh Abdus Salam bin Masyisy diperintahkan untuk mandi terlebih dahulu. Ternyata perintah mandi tersebut menjadi etika ikhwan thariqah untuk membersihkan diri sebelum bertemu guru mursyid. Hal itu sama seperti seseorang yang hendak menuju masjid untuk shalat. Di mana ketika di dalam masjid hati mereka sudah satu tujuan yaitu Allah SWT. Juga dapat diartikan bahwa kebaikan itu bertingkat-tingkat, maka perlulah kesadaran untuk terus memperbaiki diri.

Kata KH Haidar bahwa ikhwan thariqah yang akan naik menuju maqam hakikat biasanya menemui beberapa hal di antaranya munculnya keraguan, lalu disusul dengan ujian. Setelah ragu dan ujian terlewati maka akan sampai pada fi hadratillah lalu dalam pangkuan Allah. Begitulah jika orang mampu melewati ujian maka akan naik derajat.

Selanjutnya mauidhoh hasanah disampaikan KH Mustofa Aqil Siradj dari Cirebon. Beliau menyampaikan bahwa kalau tidak ada murid thariqah negara akan hancur. Mengapa demikian, karena dalam hati mereka terdapat لا اله الا الله. Hanya yang di dalam hatinya ada kalimat agung Allah lah yang akan menang. Orang yang membaca kalimat لا اله الا الله satu kali maka akan menggetarkan arsy. Dengan kalimat itu pula lah kita bisa berkomunikasi dengan yang haqq. Karena kalimat لا اله الا الله merupakan makanan ruhani.

Berbeda dengan sains maka keimanan lebih unggul. KH Mustofa mencontohkan di mana Kan'an lebih memilih gunung (sains) daripada perkataan (tauhid) ayahnya Nabi Nuh ketika bencana air bah melanda. Maka dari itu jika yang masuk hanya ilmu cenderung akan ingkar berbeda dengan iman. Orang yang imannya sudah kuat maka tak akan goyah. Hal itulah ciri para wali لَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ

Dalam bermasyarakat pun kita harus baik dengan siapapun tanpa memandang status. Termasuk kita mendapatkan porsi untuk masuk syurga selain lewat jalur nabi, shidiqin, syuhada akan tetapi jalur sholihin. Salah satu ciri penghuni surga adalah yang istiqamah baca Qur'an, shalat jamaah, dan wiridan.

Mauidhoh hasanah pamungkas sekaligus do'a disampaikan oleh Al Habib Umar Muthohar dari Semarang. Beliau berpesan untuk jaga lisan, jaga kehormatan. Bicara yang baik karena kata-kata hati bisa malati (bertuah). Orang itu bisa melakukan sesuatu berawal dari apa yang pernah dikatakan. Misalnya berdoa di makam wali dengan hajat tertentu bisa jadi akan terkabul entah kapan waktunya. 

Beliau juga berkisah tentang Syeikh Bisr al Hadi yang mencontohkan dengan jenang. Jenang tersebut mampu menginsafkan segerombolan perampok. Awalnya salah satu perampok diperintahkan untuk membeli miras. Singkat kisah miras tersebut belum ada. Lantas dengan penasaran anak buah perampok mendatangi sebuah warung jenang yang sangat ramai bahkan para pembelinya berjubelan antri. Usut punya usut mereka ingin membeli jenang yang katanya pernah dipegang oleh seorang wali. Si perampok dengan lugu lalu membeli jenang tersebut tanpa tahu artinya. Hingga singkat kisah mereka taubat gara-gara jenang tersebut.

Berdasarkan cerita tersebut sangat jelas bahwa para wali Allah masih bekerja dalam menebar berkahnya. Mereka selalu hidup dan tidak mati. Mereka masih mendengar doa-doa kita dan hal itulah yang disebut wasilah. Maka dari itu di setiap tempat yang ada makam wali jangan lupa berwasilah atas segala hajat terutama memohon agar tetap istiqamah menuju Allah SWT.[]




the woks institute l rumah peradaban 25/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde