Langsung ke konten utama

Haul Akbar Pondok Panggung 2023 : Sambung Sinyal Wifi




Woko Utoro

Di pertengahan bulan Juli saya berkesempatan hadir kembali dalam acara haul akbar Pondok Panggung tahun 2023. Seperti biasa niat saya hadir tak lain ingin ngalap berkah shohibul haul dan sapa silaturahmi. Semoga saja niat tersebut selalu saya perbarui tiap tahunnya.

Kali ini formasi saya tetap bersama Pak Nur ditambah Ocit (arek Jombang) yang pikirannya full soal makanan. Alhamdulillah setelah isya kami tiba di sana dan langsung bertemu kawan-kawan lama para santri mondok dulu. Saya santri Pondok Panggung yang cuma setahun itu merasa perlu untuk hadir di momen tahunan tersebut. Tak lain karena sebuah kewajiban. Santri tidak boleh melupakan guru-gurunya. Fenomena akhir zaman akan banyak didapati santri yang melupakan kiainya. Hal itulah yang mencoba saya hindari sekuat mungkin.

Singkat kisah kami tiba di lokasi haul dan langsung mengambil tempat di ujung selatan panggung. Berbaur bersama jamaah ibu-ibu kami menikmati malam itu dengan sebungkus nasi dan secangkir kopi. Kebetulan haul tahun ini Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M. Si bertindak mengisi mauidhoh hasanah. Sedangkan sambutan dewan pengasuh diwakili KH Fathurrahman Syafi'i, pembacaan manaqib Mbah Asrori oleh KH Nurul Huda dan dihadiri pula Bupati Tulungagung Drs. Maryoto Birowo, M.M.




Walaupun haul tahun ini tidak sebegitu semarak dari tahun lalu yang jelas saya selalu membawa kesan tersendiri. Setidaknya yang saya dapat adalah 3 hal yaitu ilmu, ngalap berkah masyayikh dan silaturahmi alumni. Beberapa masyayikh yang dapat saya temui adalah Gus Huda, Mbah Damiri, Ustadz Rifa'i, Ustadz Muroji dan lainya. Dari para masyayikh itulah waktu yang singkat tersebut membuat saya memiliki kesan tersendiri selama mondok. Cuma sayang haul tahun ini begitu berbeda karena Bu Nyai Asrori Ibrohim baru saja berpulang beberapa bulan lalu. Sehingga kami tentu merasa kehilangan sosok beliau.

Tahun ini dalam pembacaan manaqib dijelaskan bahwa susunan aurad shalawat nariyah sudah diamalkan muassis sejak tahun 1952. Maka jamaah tidak usah aneh jika banyak majelis shalawat serupa dan di Pondok Panggung ini sudah berjalan lama. Bahkan susunan lafadznya sudah ditasheh oleh beberapa ulama besar di antaranya KH Zainuddin Mojosari, KH Mahrus Ali Lirboyo dan KH Hamid Pasuruan. Tujuan disusunnya aurad tersebut tentu sebagai wasilah memohon keselamatan dunia akhirat. Hal itu pula yang juga dijelaskan oleh Prof Maschan sebagai sebuah wasilah benteng diri.

Menurut Prof Maschan seperti halnya shalat nariyah kita juga bisa berikhtiar sehat dengan cara rajin membaca Al Qur'an dan sering minum madu. Hal itu berdasarkan kata syifa yang termaktub dalam al Qur'an tidak kurang ada 6 kali. Tidak hanya itu beliau juga memberikan tips bahwa jika ingin rezeki yang barokah bacalah istigfar dan hauqallah atau lahawla wala quwwata atau membaca Surah At Thalaq ayat 2-3. Jika hidup terasa sumpek maka perbanyaklah membaca shalawat dan istighfar. Bahkan beliau juga mengijazahkan amalan dari KH As'ad Syamsul Arifin Situbondo dari Nabi Khidir agar hidup selamat terutama untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Amalan tersebut adalah jangan beranjak ke posisi lain setelah salam shalat. Jadi tetap duduk tahiyat akhir sambil membaca shalawat 100x dan istighfar.

Prof Maschan juga mengatakan bahwa seseorang yang rajin mengikuti yasin tahlil, nariyahan, haul justru akan lebih bahagia. Maka tidak salah jika soal indeks sirkulasi uang ada di Jakarta dan indeks kebahagiaan rerata masyarakat Jawa Timur lebih unggul. Karena masyarakat Jawa Timur beragama dengan lebih santun dan moderat. Mungkin faktor itulah salah satu yang membuat saya betah berlama-lama di kota Tulungagung.

Bagi saya di kota Marmer ini terlampau banyak pilihan untuk mengasah nurani sebagai kebutuhan spiritual salah satunya lewat makam wali dan majelis haul. Maka bagi saya hadir dalam majelis haul adalah bagian dari mengupdate sinyal wifi agar tetap tersambung. Saya yakin sesuai dawuh dalam Al Qur'an bahwa wali-wali Allah itu tetap hidup walaupun mereka sudah berkalang tanah. Semoga kita semua diakui sebagai santri Romo Yai Asrori Ibrohim, Romo Yai Syafi'i Abdurrahman dan Romo Yai Abdul Aziz.[]

the woks institute l rumah peradaban 14/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde