Langsung ke konten utama

Memaknai Perjalanan Dalam Sebuah Lagu




Woko Utoro

Seorang teman berkisah tentang perjalanan hidupnya pasca lulus kuliah. Katanya kini kehidupan semakin sepi dan entah kemana orang-orang pergi. Apakah mereka teman-teman semasa dulu pergi merantau ke luar kota atau mungkin menikahi gadis di desa sambil mengurus jamaah yasin tahlil. Iya tidak tahu. Yang jelas dalam momen-momen kesendirian itu ia sering bersenandung.

Katanya adalam sebuah kesempatan ia bertanya mengapa hidup selalu memiliki relasi dengan perasaan. Atau mengapa hidup selalu menyediakan ruang untuk berkisah atau sekedar menyalurkan emosi-emosi psikologis. Salah satu yang dilakukannya adalah mendengarkan musik. Mendengarkan musik dengan lagu yang sesuai dengan perasaan memang bagian dari katarsis atau upaya untuk mengelola emosi diri. Bahkan kadangkala lewat syair lagu tersebut seseorang merasa terwakili. Mungkin saja dalam konteks ini teman saya merasa diwakili oleh beberapa lagu.

Katanya dalam sistem algoritma media beberapa lagu selalu masuk dalam relung hatinya secara random yaitu Sajadah Merah, Ikan dalam Kolam dan Teman Sejati. Ketika saya dapat cerita tersebut, iseng saja untuk mencari lagu-lagu tersebut. Ternyata liriknya memang menyentuh dan mewakili keadaan perasaan. Hal itu serupa dengan yang pernah dilalui yaitu lewat lagu-lagu patah hati ala the Godfather of Broken Heart Didi Kempot, kita merasa diwakili perasaannya.

Inilah penggalan lagu Sajadah Merah karya Ustadz Imam Ghozali yang membuat teman saya terharu biru.

Dulu waktu aku masih bersama dia
Dia yang aku cinta dia yang aku puja
Ku diberikan tanda mata sajadah merah
Katanya agar aku rajin ibadah
 
Sayang kisahku dengannya hanya
Sekejap saja dia menikah dengan
pilihan ayahnya
Walau harus menderita namun ku 
Tetap berdo'a semoga dia yang ku cinta
berbahagia
 
Selanjutnya lagu yang menurutnya mewakili perasaan adalah, Ikan Dalam Kolam karya Husein Bawafie. Berikut penggalan liriknya.

Bila ingin melihat ikan di dalam kolam
tenangkan dulu airnya sebening kaca
bila mata tertuju pada gadis pendiam
caranya tak sama menggoda dara lincah

Jangan jangan dulu, janganlah diganggu
Biarkan saja, biar duduk dengan tenang
Senyum senyum dulu, senyum dari jauh
Kalau dia senyum, tandanya hatinya mau

Terakhir adalah lagu Teman Sejati masih karya Ustadz Imam Ghozali.

Ku cari-cari teman hidup yang sejati
Sampai sekarang belum juga ku jumpai
Ku ingin menikah cukup hanya sekali
Rukun bahagia sampai anak cucu nanti

Dari tiga lagu tersebut teman saya berkisah panjang lebar dan tentu tidak saya tulis di sini karena akan sangat panjang. Intinya ia sedang menambal luka lama atau mengubur masa lalu. Karena bagaimanapun juga kenangan masa lalu tak mudah untuk dilupakan. Maklum saja di usianya yang sudah matang sepertinya ia tipikal orang yang berjuang untuk move on. Maka dari itu beberapa kesempatan ia cerita bahwa tengah mendekati seorang gadis yang dalam versi lagu digambarkan seorang pendiam lagi sederhana. Tentu pikiran itu pun melayang untuk berniat menikahinya.

Intinya ia curhat pada saya sambil berkisah lewat lagu-lagu tersebut. Bahwa ia tengah berjuang mengubur masa lalu di mana ia pernah mengalami kegagalan dalam hal asmara. Ia sendiri tidak berpikir mengapa sistem perjodohan yang tidak dikehendaki justru hadir dalam kisah hidupnya. Tapi apa mau dikata, nasi terlanjur menjadi bubur. Dan kini hanya bisa terus berjuang, berpikir positif dan tetap optimis. Bagaimanapun juga hidup akan terus dijalani walaupun kita membawa sejuta luka, katanya.

Dari kisah singkat tersebut tentu saya hanya bisa memberinya support. Saya ingin dia bisa bangkit lagi bahwa perkara jodoh atau kematian hanya soal menunggu giliran. Kita yang tidak tahu ini maka santai saja. Yang penting hidup dijalani dengan sabar dan ikhlas. Perkara yang sudah pasti tak usah ditangisi. Tinggal kini bagaimana diri ini merespon dengan sikap yang dewasa. Yakinlah selepas hujan akan ada pelangi (Surah Al Insyirah ayat : 5-6).

the woks institute l rumah peradaban 5/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde