Langsung ke konten utama

Public Speaking Bersama Mahasiswa Panggul




Woko Utoro

Di penghujung bulan Juli saya diberi kesempatan untuk mengisi acara webinar public speaking yang diinisiasi oleh Gerakan Mahasiswa Panggul (Gempa). Acara ini digawangi oleh Mas Dewanta dan dimoderatori oleh Mba Elis Furnawati Gradio. Acara yang berlangsung sekitar 60 menit tersebut dilaksanakan lewat ruang Google meet.

Ada sedikit momen lucu dalam acara ini yaitu tidak adanya sambutan dari shohibul bait. Sehingga acara terkesan langsung dimulai termasuk juga prolog dari moderator yang terkesan mendadak. Tapi apapun itu saya maklumi karena acara pertama yang diadakan pasca pandemi.

Singkat kata saya menyampaikan materi public speaking yaitu dimulai dari pengertian. Bahwa public speaking sederhananya adalah kemampuan komunikasi yang dilakukan di depan orang atau kelompok. Komunikasi juga bisa dilakukan dengan dua arah. Dengan komunikasi itulah seseorang atau audien bisa memahami apa yang disampaikan.

Di era digitalisasi ini kemampuan komunikasi sangatlah penting terlebih public speaking. Karena public speaking bukan sekadar ngomong biasa. Sebab bicara itu ada seninya. Komunikasi yang baik tentunya dapat dipahami dan memiliki nilai. Jadi tidak asal ngomong seperti pepatah tong kosong nyaring bunyinya.

Selanjutnya sebelum mengetahui betapa pentingnya public speaking kita memahami bahwa setidaknya ada 4 kecerdasan manusia. Kecerdasan mendengar tentu setiap orang mampu, selanjutnya kecerdasan bicara, kecerdasan membaca dan menulis. Maka kecerdasan bicara tersebut perlu untuk dipoles agar tidak sekadar bicara. Karena bagaimana pun juga tergelincirnya lisan lebih bahaya dari tergelincirnya kaki.

Perlu dipahami juga bahwa untuk memulai public speaking adalah dengan mempersiapkan materi, kuasai mental dan lihat audien. Setelah itu rajinlah berlatih bila perlu diimbangi dengan banyak membaca. Dengan banyak bacaan apa yang disampaikan akan mudah dipahami. Karena hasil bacaan memang mempengaruhi perbendaharaan kata. Bacaan membuat kita kaya dan pastinya membuat penasaran audien.

Barangkali demikianlah singkatnya apa yang saya sampaikan dalam acara webinar tersebut. Maka saya ingat pepatah dari Mesir bahwa siapa yang mampu bicara dia akan menguasai dunia. Karena dari bicara akan membuat orang lain terhibur sekaligus terkubur. Dari public speaking memang mampu mempengaruhi sekaligus mengarahkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 1/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde