Langsung ke konten utama

Membincang Bodoh dan Pintar




Woko Utoro

Membincang term bodoh pintar memang menarik apalagi ketika terlontar dari mulut pendakwah. Selain kata kafir, kata bodoh pintar menjadi obral yang sering terlontar khususnya buat jamaah. Lantas sesering apakah kata bodoh pintar tersemat buat para jamaah. Mari kita lihat para pendakwah yang memposisikan dua kata tersebut dalam sesi ceramahnya.

Saya mengamati para tokoh kita memiliki ciri khas tersendiri dalam labeling bodoh pintar tersebut. Misalnya KH Nurul Huda Djazuli sering melontarkan kata "bodo" tentu dalam dialek Jawa kepada santri yang dalam tanda kutip malas mengaji (baca : mutholaah). Gus Baha juga sama sering mengatakan "bodo" tapi lebih pada konteks mereka yang hanya meyakini kebenaran tunggal (tentu versi pikirannya sendiri) bukan karena ilmu. Padahal ilmu itu luas dan perlu disiplin ilmu lainnya.

Beda lagi dengan Gus Iqdam, pendakwah kondang asal Blitar tersebut sering melontarkan kata "tolol" kepada mereka yang lebih tepatnya polos. Kepolosan memang memudahkan orang untuk berbuat sesuatu yang bersandar pada keinginan individu bukan pada standar keshahihan moral. Gus Kautsar yang juga guru dari Gus Iqdam lebih dulu menyebut kata "tolol, pekok, goblok, dedel" buat jamaah yang fallacy alias sesat pikir. Kata tersebut dialamatkan Gus Kautsar pada mereka yang membanggakan materiil daripada esensi. Sehingga dari ketololan tersebut bisa membuat rusaknya dunia apalagi dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh (misalnya : Gus, putra kiai).

Lain lagi dengan Rocky Gerung, ia sering melontarkan kata "dungu" pada orang-orang yang tidak menggunakan akal pikirannya. Bung Rocky yang berjuluk presiden akal sehat itu memang mudah mengatakan dungu kepada siapa saja yang mendahulukan emosi daripada berpikir kritis. Sehingga kedunguan mudah dipertontonkan daripada intelektualitas. Terbaru tentu Butet Kartaredjasa dalam puisinya yang menyebut bodoh sebagai "pandir". Istilah pandir tersebut jarang digunakan kecuali beberapa kali kita kenal dalam terminologi sufi.

Pandir disebut juga bodoh atau bebal. Pandir lebih mengarah pada orang-orang yang merasa diri paling benar, kolot tidak mau mengalah, ingin menang sendiri dll. Kepandiran memang sangat mudah terbaca salah satunya lewat kata-kata yang tanpa dasar. Jika ingin melihat orang pandir bisa buka kembali rekaman semasa pandemi. Atau lihat saja dalam fenomena medsos kita saat ini banyak dijumpai orang-orang pandir yang tak pandai berpikir. Dari banyak term bodoh tersebut saya perlu menyuguhkan perspektif Mbah Nun.

Mbah Nun yang sering saya ikuti jarang mengatakan bodoh kecuali, "keliru atau tersesat". Mbah Nun hanya ingin mengajak berpikir agar kita kembali pada kesadaran. Bahwa sesungguhnya bodoh, pintar atau bahkan kebenaran itu adalah sesuatu yang bukan pemberian melainkan hal yang diusahakan. Maka dari itu Mbah Nun selalu bertanya jangan-jangan apa yang kita lakukan adalah di jalur yang keliru atau bahkan tersesat. Dari sanalah Mbah Nun selalu mengingatkan dengan rajin mentadaburi surah Al Fatihah, iIhdinas shiraatal mustaqiim seraya bertanya mungkin bisa jadi kita dalam keadaan tersesat.

Lantas bagaimana dengan pintar? apakah mereka yang memiliki nilai tinggi atau yang sering mendapat ranking. Ternyata kepintaran lebih mengarah pada esensi bukan kulit. Ternyata pintar adalah perangkat untuk menemukan solusi bukan emosi. Pintar bukan soal angka tapi soal sikap dan tindakan. Pintar itu lebih mementingkan prioritas daripada percabangan alias yang sekunder. Pintar adalah sebuah seni untuk memenejerial, memanfaatkan waktu serta kesempatan. Pintar adalah kemampuan untuk berpikir, bertindak dan berkata berdasarkan data. Pintar adalah tindakan untuk menggunakan akal dan hati secara maksimal. Jika diibaratkan, pintar itu seperti lentera yang menerangi gelap. Pintar itu seperti gunung di mana orang-orang bodoh berada di bawahnya. Terakhir pintar itu adalah mereka yang hidup didasari ilmu. Jadi di luar pengertian itu semua berarti adalah kebodohan. Bisa jadi di satu sisi kitalah orang bodoh yang terus membutuhkan cahaya untuk menuntun ke jalan yang lurus.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde