Langsung ke konten utama

Kesengsem Syair Burdah




Woko Utoro

Dalam acara puncak Haul Ploso 2023 KH Nurul Huda Djazuli merasa senang ketika para kiai berkumpul. Salah satu yang disenangi beliau adalah hadirnya KH Said Aqil Siradj Cirebon (mantan ketum PBNU tahun 2010-2020). Yang disukai oleh Kiai Dah (sapaan akrab KH Nurul Huda Djazuli) adalah di saat KH Said melantunkan qasidah Burdah. Selain Burdah, KH Said juga hafal nasab Kanjeng Nabi Muhammad SAW sampai Nabi Adam dan itu keistimewaan beliau.

Jamak yang sudah diketahui qasidah Burdah adalah gubahan pujangga Mesir abad ke-13, Syeikh Muhammad ibn Sa’id al-Bushiri (w. 1295). Nama asli kumpulan syair puji-pujian pada Nabi tersebut adalah Al-Kawakib ad-Durriyyah fî Madh Khair al- Bariyyah yang berarti "Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik".

Syeikh Al Bushiri adalah murid Syeikh Abul Abbas Al Mursi juga murid dari Syeikh Abil Hasan Syadzily. Beliau adalah ulama wara', alim dan pastinya sufi pecinta Nabi. Saat mengarang Burdah beliau dalam keadaan lumpuh. Singkat kisah ketika syair tersebut didendangkan di hadapan Nabi Muhammad dalam mimpi lantas beliau bangun sudah didapati beliau bisa berjalan lagi. Demikianlah keistimewaan Burdah. Padahal qasidah Burdah era awal juga digubah oleh Sahabat Ka'ab ibn Zuhair ibn Abi Sulma. Tapi kata KH Said segala macam madah atau pujian ditujukan kepada Nabi bisa disebut Burdah.

Kemarin saat Haul Ploso di sesi penutup Kiai Dah melantunkan Burdah pasal 1 bait ke 4 yang berbunyi :
أيَحَسَبُ الصَّبُّ أَنَّ الْحُبَّ مُنْكَتـــِمٌ ۞ مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمضْطَــــرِمِ
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya. Di antara air mata yang mengucur dan hati yang bergelora.

Kiai Dah mengatakan apalagi jika qasidah Burdah tersebut yang melantunkan adalah KH Said tentu sangat syahdu. Selain karena gaya sastranya yang tinggi Burdah juga dipercaya bisa menjadi wasilah menyembuhkan penyakit. Dalam bait tersebut tentu bisa diartikan secara psikologis di mana seseorang yang jatuh cinta memang tidak bisa dibohongi. Sekalipun ekspresinya disembunyikan orang berbunga-bunga tetap terlihat.

Selain Burdah, Kiai Dah juga senang akan syair-syair Arab. Bahkan beliau merekomendasikan para santri untuk mempopulerkan kembali syair yang ditulis KH Fuad Hasyim Buntet Pesantren. Syair tersebut berjudul "Ya Nahdlatul Ulama". Kiai Fuad memang tercatat sebagai alumni Ploso selepas beliau menimba ilmu di Lasem asuhan Kiai Ma'shum, Kiai Baedowi, Kiai Munshur Kholil dll.

Adapun syair karya KH Fuad Hasyim adalah sebagai berikut :

يا نهضة العلماء أنت محبتي ومودتي ومسرتي ورضائي

Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah cintaku, kaulah kasihku, bahagiaku, juga kerelaanku

يا نهضة العلماء أنت وسيلتي لتمسكي بجماعة العلماء

Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah perantara, menyambungku dengan para ulama

يا نهضة العلماء أنت سفينة لسلامتي وطريقة لنعمائي

Duhai Nahdlatul Ulama, kaulah bahtera penyelamatku, kaulah jalan menuju nikmatku

the woks institute l rumah peradaban 28/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde