Woko Utoro
Sejak di sekolah dasar kita sering membaca kalimat menggugah, "Buku adalah jendela dunia". Kalimat bergizi itu entah apakah sudah jadi fosil di saat kita dewasa. Di saat hidup dihadapkan dengan materi dan kebutuhan. Apakah kalimat tersebut masih bertaji untuk terus memandu kita menyusuri sudut-sudut dunia. Entahlah, rasanya kalimat itu hanya ampuh saat dibangku sekolah dengan segala formalitas nya.
Membaca buku padahal merupakan sebuah keharusan sebagai cara mendisiplinkan diri. Cara itulah bagi sebagian orang adalah obat mujarab bagi kelangsungan hidup berbangsa bernegara. Buku tidak sekadar jendela dunia. Menurut Co founder Periplus Bookstore Judo Suwidji, buku lebih dari jendela dunia. Buku adalah pintu semesta yang membukakan jalan pikiran. Buku bukan alternatif sebagaimana jendela menjadi pentilasi udara. Buku adalah utama. Buku adalah pintu gerbang memasuki pengetahuan.
Bangsa yang maju yaitu bangsa yang menempatkan tradisi membaca sebagai budaya. Bangsa yang meyakini bahwa lewat pintu pengetahuan lah orang akan beradab. Maka tidak salah jika bacaan mampu mengubah masyarakat. Seorang psikolog kondang Amerika Serikat, David Mc Clelland menyebutkan bahwa membaca memengaruhi kemajuan, bahkan memicu kemajuan sebuah bangsa. Ia mencontohkan Spanyol dan Inggris di mana dua negara tersebut maju karena pengaruh budaya baca. Inggris maju lebih cepat karena dominasi bacaan heroisme sedangkan Spanyol lebih condong pada romantika dan percintaan.
Saking pentingnya membaca salah satu pesan Gus Dur untuk Inayah Wulandari (anak bungsu) sebelum beliau wafat adalah, "Jangan tinggalkan membaca, sampai mati harus membaca". Bagi Gus Dur membaca adalah harga mati. Beliau menyadari bahwa dunia gelap gulita karena tidak tersinari bacaan. Membaca adalah cara mengakses pengetahuan dengan gratis. Setelah tradisi membaca sudah baik barulah ke tahap selanjutnya yaitu memilih buku yang baik.
Lantas bagaimana cara agar membaca mampu menjadi arus utama? Judo Suwidji memberi solusi bahwa membaca harus ditanam sejak dini di keluarga, lalu dipupuk lewat lembaga pendidikan dan dirawat bersama masyarakat. Dengan kerjasama tersebut membaca akan jadi budaya. Jika salah satunya lemah serta masih menganggap membaca tidak penting maka bersiaplah suatu masyarakat akan terus terbelakang.
Bacaan memang menjadi indikator kemajuan, keberadaban. Pastinya di era digitalisasi yang masif membaca seharusnya menjadi kewajiban. Sangat sulit dinalar misalnya negara dengan pengguna internet terbesar tapi miskin bacaan. Jangankan membaca untuk sekadar memilah baik buruk saja kita terjebak. Tidak salah jika karena minim bacaan kita selalu jadi korban atas kriminalitas siber. Begitulah seharusnya membaca menjadi garda terdepan dalam memfilter budaya luar. Apakah kita masih meyakini bahwa membaca itu penting? lantas mulai kapan kita melakukan pembacaan jika bukan sekarang juga.[]
the woks institute l rumah peradaban 14/11/23
Mantap Bang Woks
BalasHapusMatursuwun Bu Rodliyah
BalasHapus