Langsung ke konten utama

Filsafat Emperan




Woko Utoro

Suatu saat di sebuah warung tegal saya menyaksikan sebuah parade kesederhanaan. Si bapak pemilik warung menyetel musik campursari. Dengan segelas kopi pahit di depannya dan beberapa buah gorengan membuat suasana begitu kudus. Si bapak menikmati kesederhanaan itu di emperan warungnya.

Emper atau emperan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan teras. Emperan merupakan bagian dari rumah yang umumnya berada di depan. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menempatkan emper di samping atau belakang rumah. Intinya emperan itu adalah bagian dari atap rumah yang ukurannya lebih kecil atau kita sering menyebut dengan serambi. Lantas apa istimewanya emperan?

Kita tentu ingat Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Sebuah buku yang menyajikan filsafat Yunani & Romawi dan lebih khusus aliran Stoa, Stoisisme. Filosofi teras (Stoa) menurut aliran Stoisisme adalah upaya seseorang untuk keluar dari emosi negatifnya. Dalam makna lain Seneca memberi pencerahan bahwa kadang kita terlalu membuat keresahan begitu hiperbola. Padahal faktanya resah gelisah lebih karena konstruksi pikiran sendiri. Oleh karena itu Seneca ingin agar orang mampu mengelola pikiran dan emosinya.

Filosofi teras ingin agar kita menikmati hidup ala diri sendiri bukan karena pengaruh orang lain. Teras mengajarkan agar kita seimbang dengan alam dan Tuhan. Bahwa esensi hidup adalah ketenangan utamanya perihal batin dan jiwa. Berapa banyak orang kaya justru resah dengan hartanya. Berapa banyak pemuda bingung dengan masa depannya. Atau berapa banyak orang bunuh diri di tengah kesuksesannya. Ternyata semua bermuara dalam pikiran.

Jika kita pelajari dengan saksama bukankah emperan menyajikan pelajaran gratis. Sebuah pengetahuan hidup tentang arti menikmati, mensyukuri dan mendayagunakan. Coba saja apa kemewahan emperan? tidak ada. Emperan justru memberi kesejukan ketika isi rumah panas membara. Emperan memberi kejembaran di saat rumah tak lagi menyuguhkan rasa nyaman. Emperan menyediakan keceriaan ketika isi rumah sedang muram durja. Maka tidak salah jika orang sering gletak'an di emperan rumah. Karena memang emperan menyuguhkan segala termasuk imaji. Utamanya hal ikhwal masa depan.

Terkhusus bagi anak muda. Sebelum mengetahui isi rumah taklukkan dulu serambi emperan. Karena di sana ayah mertua sudah menunggu. Ia berbadan gempal, berkumis tebal, penyuka burung perkutut dengan koran dan sajian kopi tiap pagi. Ketika pemuda datang lantas ditanya, "Mau apa?" maka kau jangan gentar. Papa mertua hanya ingin kau tahu bahwa emperan rumahnya mengandung tanya sekaligus jawab. Kamu hanya perlu tenang dan beri ia senyum seraya berkata (sebut nama anaknya), "Apakah Adinda ada Om?"

Dan kita tunggu emperan rumah akan menjawab. Si gadis itu ternyata sudah menunggu sejak tadi di sana. Dengan senyum lebarnya, "Mas pasti membawakan roti bakar kesukaan ku". :)

the woks institute l rumah peradaban 6/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde