Langsung ke konten utama

Healing : Bicara Pendidikan dan Kuliner




Woko Utoro

Siang sekitar jam 9 saya dan Mas Roni bertolak ke SDN 1 Kiping Gondang Tulungagung. Tujuan kami ke sana atas kebutuhan MoU program SPK Goes to School atau bincang hangat seputar literasi. Kami sengaja diminta datang ke sana atas undangan awal antara pengurus SPK dan lembaga sekolah. Kebetulan Ibu Nikmatul Khotimah, M.Pd adalah kepala sekolah sekaligus bendahara SPK yang baru. Maka atas dasar itu kami langsung akrab bicara ngalor ngidul tentang kehidupan.

Singkat kisah sampai di sana kami berbincang hangat seputar literasi di ruang kantor. Kebetulan siang itu guru-guru berada di kelas guna mengawas siswa yang sedang ujian. Maka tak perlu waktu lama kami dan kepala sekolah langsung membahas apa saja yang nanti dipersiapkan ketika acara literasi berlangsung. Di momen inilah pikiran saya melayang ternyata banyak hal yang menjadi PR sekaligus catatan untuk segera dituliskan.

Pertama, mengapa istilah literasi tidak populer di pendidikan dasar? padahal literasi adalah dasar dari pendidikan misalnya baca tulis. Hingga hari ini baca tulis masih menjadi problem dasar. Hal itu terbukti masih ditemukan siswa siswi yang belum bisa membaca dan menulis.

Kedua, pendidikan kita masih belum maju alias jauh dari target APBN. Sangat jelas bahwa maju mundurnya pendidikan bergantung pada pemerataan anggaran dan fasilitas pendidikan. Dari fakta tersebut jelas bahwa kemajuan hanya dapat diakses oleh lembaga yang dekat dengan pusat kekuasaan terlebih jika bicara kuantitas peserta didik.

Ketiga, bagaimana ketika di suatu lembaga pendidikan tidak memiliki perpustakaan? sebenarnya bukan sebuah masalah besar. Di era modern saat ini ambisi membangun perpustakaan fisik khususnya di desa dengan lahan minim adalah sesuatu yang tidak perlu dielu-elukan. Pasalnya kita hanya perlu melihat pasar khususnya di era digital. Kita hanya perlu misalnya menambah fasilitas berupa leptop atau beberapa smartphone dan LCD proyektor. Di sana kita bisa mengakses buku secara online dan membaca secara bersama-sama dengan porsi waktu yang sudah ditentukan. Setelah itu ajaklah anak-anak untuk merefleksikan hasil bacaan secara sederhana.

Setelah bincang hangat di sekolah usai kami langsung diajak Bu Nikmah berwisata kuliner. Beliau menawarkan untuk berburu bakso atau soto. Akhirnya kami labuhkan pada soto. Ternyata tujuan kami adalah warung soto Condong Raos H. Sukeni yang berada di utara Puskesmas Gondang atau tepat di depan kantor dinas pengelolaan sumberdaya air Gondang. Di warung soto ini kami tidak diam. Kami justru mengabaikan momen dengan foto bersama dan pastinya diskusi ringan.

Keempat, memilih pendidikan untuk anak itu harus yang terbaik. Baik itu bukan berarti harus mahal melainkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anak. Karena kita meyakini bahwa sampai hari ini pendidikan mampu menyelamatkan untuk menatap masa depan. Bahwa pendidikan itu ruh dan memang harus dimulai dari institusi terkecil yaitu keluarga.

Kelima, jika berkumpul di suatu tempat pikiran pertama tertuju pada kuliner. Dari sana saya berpikir ada benarnya juga. Karena sebagian kalangan percaya bahwa cinta bisa disalurkan lewat makanan. Bahwa salah satu dari inti agama adalah makan-makan. Maka dari itu soal cita rasa jangan coba-coba. Sekalinya cocok akan ketagihan dan jadi langganan.

Terakhir di warung soto ini kami pamitan untuk meneruskan perjalanan. Tentu sebelum pamitan hal yang saya ingat adalah pertanyaan kapan punya gebetan. Pertanyaan itulah yang rasanya berat untuk dijawab. Pertanyaan eksistensial yang entah kapan perlu dijawab, mungkin besok. Atau kita memang perlu terus berbincang sambil bertanya, "Ibu punya tetangga atau ponakan gitu, bolehlah dikenalkan pada kami?" wkwk.

the woks institute l rumah peradaban 8/11/23


Komentar

  1. Whkwhk...masak blm punya gebetan mas? Hehehe....semoga project SPK bisa berjalan dg baik. Aamiin...

    BalasHapus
  2. Matur thanks atas kebersamaan yang hangat.. Secara fisik memang kita masih bertemu 2 kali saja pertama saat kopdar SPK di perum madani dan yang kedua di sekolah saya. Tapi di dunia grop SPK kita dah sering jumpa😃 dan suka baca tulisan you..Satu yang pasti dari yang muda pun kita bisa belajar banyak hal.. Jangan lelah untuk belajar belajar dan belajar lagi👍🙏😃

    BalasHapus
  3. Haha poro sesepuh, amiinn matursuwun:)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde