Langsung ke konten utama

Menerjemah Ibu




Woko Utoro

Sudah banyak orang menulis ibu. Sudah tak terhingga berapa puisi dihasilkan. Sudah lebih dari mengapa orang menulis tema ibu. Dan jawaban itu tak akan pernah habis. Ibu lebih dari sekadar tulisan. Ibu lebih dari sekadar puisi untuk menggambarkan keluhurannya. Dan ibu lebih luas dari sebuah tema apapun. Ibu adalah kalimat tanpa tanda titik. Karena ibu seorang perempuan sejati.

Di saat aku jauh ibulah nama pertama yang disebut. Dengan namanyalah aku berwasilah. Setelah nama nabi disebut nama ibulah yang ku sebut juga. Ketika aku sakit ibulah yang merasakan sakitnya. Katanya seraya mengangkat telepon, "Kamu sakit ya". Ibu memang sensitif. Ibu sangat peka dengan segala keadaan anaknya. Ibu memang begitu. Beliau tak akan pernah habis bahan bakar untuk mencintai. Tugas mulia seorang ibu memang mencintai dan menyayangi.

Ketika hidupku terasa sumpek ibulah yang ku hubungi pertama. Aku membutuhkan suaranya. Karena suara ibu terlahir dari surga. Petuahnya adalah kesejukan bahkan omelanya adalah energi. Aku membutuhkan tangannya untuk ku kecup. Karena telapak tangannya terdapat listrik yang mengalirkan gairah hidup. Aku selalu membutuhkan peluk kasihnya. Karena dekapan ibu adalah kehangatan abadi. Aku juga akan terus membutuhkan telapak kakinya. Karena di sana aku dapat sujud, mengoyak singgasana Tuhan memintanya membukakan pintu surga.

Dengan wasilah ketabahan dan kemuliaannya ibu diangkat derajatnya. Ibu memang mahluk yang paling iba. Kata Dzawawi Imron, ibu adalah gua pertapaannya. Kata Jokpin ibu adalah guru bahasamu. Kata Kang Maman ibu adalah nama yang abadi di hati. Kata siapapun ibu adalah segalanya. Maka tidak salah jika kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua khususnya ibu.

Jika ibu ingin materi misalnya uang, kendaraan, atau rumah. Sebenarnya anak adalah keinginan itu sendiri. Ketika datang laki-laki padanya ibu akn bertanya apa pekerjaan mu nak. Sebenarnya bukan ibulah yang menginginkan. Ibu hanya ingin anaknya bahagia. Atas nama materialis ibu mengorbankan. Padahal ibu paling realistis bahwa anak adalah buah hatinya. Ibu bisa saja mengeluh. Ibu sangat mungkin lelah. Tapi semua ia tutupi karena tidak ingin dunia tahu.

Kata Kang Maman ibu memang pembohong. Ia kenyang padahal aslinya lapar. Ia sehat padahal sedang sakit. Ia tegar padahal sedang rapuh. Ia terjaga padahal ngantuk minta ampun. Ibu memang begitu. Ia sedang mengajari pada kita arti hidup mencintai, rela demi orang lain. Orang lain itu adalah anak dan suaminya. Terakhir di momen hari ibu ini aku terus berdoa semoga ibu ku, ibu mertua, calon ibu atau semua ibu dalam keadaan sehat sejahtera.

Jika setiap orang bangga dan memuliakan ibunya. Lantas bagaimana mereka yang terlahir dari ibu yang membuangnya? apakah sepanjang hidup mereka akan mengutuk ibunya. Entahlah. Semoga mereka sadar bagaimana pun juga mereka adalah ibu termasuk tanpa perlu tahu apa pekerjaannya. Ibu tetaplah ibu, ia seorang perempuan kata Jokpin. Bahwa selamanya pekerjaan seorang ibu adalah menyayangi: walaupun mereka dihimpit keterpaksaan.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/12/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde