Langsung ke konten utama

Menakar Rezeki Yang Tak Terduga




Woko Utoro


Dalam hidup kadang kita hanya bisa menebak. Dalam hal apapun manusia hanya bisa memprediksi. Tapi semua yang dilakukan itu hanya sebatas kemampuan. Manusia baru berada di level praduga, kira-kira, mungkin saja atau apapun itu yang bersifat belum pasti. Sedangkan kepastian mutlak milik Allah termasuk perihal rezeki.


Rezeki tidak dimaknai uang melainkan bisa apa saja. Kita sering berpikir bias bahwa rezeki harus berupa materi, uang atau kesenangan. Padahal rezeki itu bisa berupa pertemanan, kesempatan hingga musibah. Musibah bisa dikatakan rezeki karena di sana terdapat hikmah. Hikmah itulah bisa dimaknai rezeki tersembunyi yang datang untuk membuka pikir dan mendewasakan diri.


Dalam al Qur'an ada salah satu kata favorit yang sering kita dengar yaitu "min haisu la yahtasib" atau jika diartikan bahwa rezeki itu kadang datang dari sesuatu yang tak disangka-sangka. Menurut Muhammad Muhyiddin dalam bukunya Metafisika Bisnis Bersama Allah (2009) "min haisu la yahtasib" diartikan menjadi 2 yaitu : rezeki yang terduga dan yang tak terduga. Rezeki yang terduga ialah jalan berupa pekerjaan, usaha, atau bisnis. Sebut saja ini dengan jalan fisika, jalan rasional, jalan material. Jalan ini membutuhkan kekuatan kongkrit-fisik dan intelektual. Perwujudannya bisa menjadi dosen, guru, pedagang, petani, nelayan, penulis, presiden, tukang becak, dokter, TNI, dll.


Rezeki yang tak terduga ialah jalan bukan berupa usaha, pekerjaan atau bisnis melainkan sesuatu yang bersifat metafisika, suprarasional, immaterial dengan mendayagunakan spiritual. Perwujudannya bisa berupa anak, istri, kesehatan, panjang umur, pertemanan, kemampuan ibadah, kelapangan waktu, pengetahuan hingga tanggungjawab. Di bagian kedua inilah kita sering menyebut surprise terhadap apa yang tidak diketahui.


Saya tentu memiliki pengalaman soal rezeki yang tak terduga. Kebetulan rezeki tersebut berupa uang. Kemarin ada seorang ibu tetangga yang hampir belum pernah bertamu ke rumah kami. Singkat kata beliau bertamu sambil menyodorkan sejumlah uang. Tentu orang tua saya kaget uang apa dan atas dasar apa memberi. Usut punya usut sang ibu pun bercerita bahwa ada seorang teman dari Bandung melihat postingan di Facebook yaitu acara Ngobras milik PC Salimah Gantar.


Di sana terdapat brosur berkaitan acara. Lalu orang Bandung tersebut menanyakan seputar narasumber termasuk latar belakang dan orang tuanya. Kebetulan narasumber kedua itu adalah saya sendiri. Setelah dijelaskan bahwa saya adalah anak seorang guru ngaji dan petani. Orang Bandung itu mungkin saja terharu hingga akhirnya ia berdonasi bukan untuk acara melainkan untuk bapak saya. Entah bagaimana yang jelas orang Bandung tersebut langsung mentransfer dana kepada tetangga saya. Hingga akhirnya ia memaksa bapak saya agar mau menerimanya. "Tolong diterima ya pak, ini rezeki dari Allah", begitu kata si ibu. Akhirnya bapak pun menerima seraya mengucap syukur, terimakasih dan salam sejahtera untuk dermawan tersebut.


Demikianlah perihal rezeki, jodoh, kesehatan dan kematian sudah berada dalam jaminannya. Kita tinggal mengikuti alurnya seraya terus berikhtiar. Bisa jadi apa yang selama ini kita duga salah. Dan sangat mungkin apa yang tidak pernah kita pikirkan Tuhan mengabulkan. Karena Allah memang tahu seluruh isi hati hambanya. Anda percaya atau tidak?


the woks institute l rumah peradaban 23/12/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde