Woko Utoro
"Mau bahagia, bercintalah dengan buku"- Kang Maman Suherman
Kalimat pembuka dari Kang Maman tersebut terasa begitu substantif, menyentuh ke relung terdalam. Kalimat tersebut sekaligus menampar kejiwaan kita yang sadar tapi cepat kabur. Sebab persoalan membaca masyarakat kita masih di level bawah. Ya, persoalan buku pasti berelasi dengan membaca. Karena sebelum membaca realitas di masyarakat secara lebih luas buku adalah pijakan awalnya.
Buku menuntun pembaca menembus ketidaktahuan. Sehingga orang yang memiliki tradisi membaca akan lebih mudah terbuka terhadap perubahan. Ciri manusia modern adalah adaptif dan mudah menerima hal baru. Dengan segala kemungkinan itulah akhirnya membaca menjadi hal penting yang harus dimiliki setiap orang. Seberapa tidak pentingnya yang jelas membaca itu mengajak orang mendayagunakan akal pikirannya.
Menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa urgensi membaca selalu tidak berbanding lurus dengan minat orang-orang. Seharusnya jika setiap orang memahami arti penting membaca tentu mereka akan melakukannya. Pertanyaan tersebut tentu sukar dijawab. Atau kita sering menyebut terjadi kompleksitas di masyarakat. Termasuk adanya gangguan kapitalisasi di tubuh pikiran. Orang-orang juga mengidap pragmatisme akut sehingga membaca belum dianggap kebutuhan.
Hal itu tidak usah dipikir terlalu dalam. Nanti kita tidak kuat bisa bahaya. Soalnya seperti sudah sunnatullah bahwa problem sosial memang tak ada obatnya. Kita hanya diperintahkan untuk berdoa dan mengikhtiarkan. Urusan hasil serahkan saja pada Tuhan. Senada dengan itu membaca juga diibaratkan seperti perjalanan iman. Bisa sangat mungkin sejak perjanjian primordial manusia yakin pada Tuhan. Tapi lambat laun mereka mulai melupakan Tuhan. Maka tidak salah jika persoalan ketuhanan manusia banyak percaya tapi sedikit yang yakin.
Keimanan memang begitu selalu naik turun. Fluktuasi keimanan itulah yang akhirnya harus terus diisi ulang. Tujuannya sederhana agar kualitas keimanan semakin baik. Iman harus terus diilmui, digurui agar kita merawatnya dengan baik. Jika seseorang mengerti bahwa iman adalah titik pusat segala nikmat tentu hal itu akan selalu dirawat. Cuma problemnya tidak setiap orang sadar bahwa perkara iman adalah yang menentukan baik kepada sesama maupun pada Tuhan.
Hal yang menjembatani antara keduanya tak lain persoalan membaca. Jika orang mau membaca dapat dipastikan ada banyak akses pengetahuan. Dari pengetahuan itulah kita akan mengerti bahwa segala sesuatu ada ilmunya. Bahwa iman adalah pangkal orang beragama. Bahwa membaca adalah cara orang mengetahui semesta. Tidak salah jika wahyu pertama turun mengintruksikan orang agar mau membaca. Terakhir, masihkah kita menganggap jika buku dan membaca tidak penting? sepertinya memang perlu menanyakan bagaimana kualitas iman akademik kita.[]
the woks institute l rumah peradaban 16/11/23
Komentar
Posting Komentar