Langsung ke konten utama

Adakah Yang Lebih Berharga dari Istikomah?




Woko Utoro


Sudah dua minggu ini Jendela Aksara off. Saya tidak tahu kemana para kontributor. Yang jelas problematika kesibukan tak bisa dihentikan. Kesibukan menjadi alasan utama seseorang untuk berhenti produktif. Dalam hal menulis apalagi, hmmz sulitnya minta ampun, kata anak jaman now. Tapi apakah demikian?


Menulis memang susah-susah gampang. Yang sulit itu konsisten atau agama menyebutnya istikomah. Semua orang tahu jika kita mampu istikomah maka dia wali. Orang istikomah dianggap memiliki kemuliaan yang tinggi. Karena jelas bahwa istikomah itu tidak mudah. Harus ada yang dikorbankan dan diprioritaskan. Tapi sebenarnya bukan itu melainkan kemampuan menyempatkan.


Tapi apakah ada orang istikomah? tentu ada. Menurut para ahli istikomah itu berarti qama atau berdiri, jalan yang lurus, dan teguh pendirian. Maka jelas bahwa istikomah itu adalah orang yang berdiri untuk berjalan lurus dan teguh, tegak lurus. Lantas bagaimana agar kita bisa istikomah. Tentu komitmen yang kuat, sering latihan dan niat adalah kunci menjadi pribadi yang istikomah. Sebenarnya kemampuan istikomah telah dimiliki kedua orang tua di mana mereka tetap konsisten menyayangi anak-anaknya.


Dalam hal menulis mengapa tidak bisa istikomah. Barangkali banyak faktor yang membuatnya sulit diwujudkan. Karena tidak setiap orang intens dalam dunia tulis menulis. Karena ada yang lebih prioritas dari dunia aksara ini. Sehingga dari itu menulis akan sulit jika dilakukan secara kontinyu. Atau bahkan kadang jeda nulis mungkin saja dibutuhkan agar kita dapat melahirkan hal baru secara lebih kreatif. Bisa juga menghindari dari tulisan yang monoton. Dari itulah akhirnya kita bertanya masihkah istikomah itu penting terutama dalam menulis.


Sepertinya tidak hanya soal menulis dalam hal kebaikan istikomah itu selalu penting. Siapa pula yang menganggap sikap ini tidak penting. Yang jelas kita yakin bahwa al istikomah khoiru min alfi karomah, konsisten itu lebih baik dari seribu kemuliaan. Terlebih soal menulis cara agar istikomah adalah dengan komitmen yang kuat, kita bisa, kita mampu.[]


the woks institute l rumah peradaban 12/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde