Langsung ke konten utama

Menulis di Tengah Kesibukan





Woko Utoro

Hampir satu minggu lebih saya absen menulis. Bukan tanpa alasan melainkan kesibukan. Tapi sejujurnya saya masih berjuang mencicil tulisan untuk tidak disebut sok sibuk. Atau apakah benar manusia itu terlahir untuk bersahabat dengan kesibukan. Saya tentu tidak tahu yang jelas tepat hari ini saya membayar lunas alasan tersebut.

Beberapa hari ini saya memang jarang posting tulisan karena sibuk atau memang sok sibuk. Tapi faktanya demikian. Bahwa aktivitas sejak pagi hingga petang menyiksa untuk tidak sempat menulis. Mungkin ada benarnya bahwa menulis bukan soal sibuk atau waktu tapi kemampuan menyempatkan. Tidak sedikit orang yang di maqam super sibuk tapi masih menyempatkan waktu untuk menulis. Justru banyak orang senggang tapi berhenti menulis?

Saya kira menulis di tengah kesibukan adalah tantangan tersendiri. Atau lebih tepatnya menulis di sela-sela aktivitas. Di sela-sela itulah jika dalam analisis SWOT bisa bernilai hambatan, tantangan menjadi peluang. Banyak orang produktif justru karena mampu memanfaatkan waktu terbatas. Atau orang produktif menulis di tengah pekerjaan yang sempit bahkan menjadi jalan ninjanya.

Perihal menulis bisa jadi soal komitmen. Atau kemampuan untuk berjanji pada diri sendiri dan ilmu pengetahuan. Sehingga sesibuk apapun sebenarnya menulis itu bisa dilakukan. Karena sudah terlanjur janji maka haruslah ditepati. Soal ini kadang bisa jadi kita tidak munafik pada orang lain tapi justru sering munafik pada diri sendiri.

Banyak para ahli memberi resep bagaimana kita bisa menulis sekalipun dalam keadaan sibuk. Misalnya Mr Emcho alias M Khoiri dalam bukunya SOS (Sopo Ora Sibuk) menyebutkan bahwa menulis itu soal komitmen dan manajemen waktu. Dalam 24 pasti kita memiliki celah untuk memanfaatkannya. Tidak mungkin kita beralasan klasik untuk menyalahkan waktu. Maka dari itu selama ada celah harus dapat dimanfaatkan menjadi kekuatan dan peluang.

Menulis itu harus seimbang dengan bacaan. Termasuk memanage waktu agar hasil dari proses kreatif tersebut dapat beroutput menjadi tulisan. Menulis itu harus dibudidayakan agar pengetahuan dan pengalaman terus lestari. Dengan menulis kita berarti turut serta memperpanjang dunia dari sejarah. Serta mampu melihat masa depan secara begitu dekat tanpa melupakan masa lalu. Menulislah, walaupun dalam kesibukan.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde