Woko Utoro
Kaum Adam tak akan pernah tau apa yang dirasakan oleh kaum perempuan utamanya ibu. Perihal rasa memang bersifat subjektif. Tapi bagi kaum ibu rasa adalah pertarungan jiwa. Rasa selalu tak bisa dimengerti sekaligus sulit diterjemahkan. Terlebih mereka adalah sosok yang melahirkan anak-anak.
Bicara ibu dan anak tentu bicara relasi. Hubungan keduanya sangat unik sama halnya dengan anak dan bapak pada relasi yang tak tampak. Yang unik dari relasi anak dan ibu adalah persoalan jodoh. Utamanya ibu ketika memiliki anak perempuannya. Mereka cenderung defensif ketika ada laki-laki yang datang menanyakan anaknya. Persoalan satu ini tentu saya akan berkisah.
Kebetulan saya tinggal di Jawa Timur khususnya Tulungagung hampir sewindu lamanya. Tentu saya paham bagaimana menyelemi problematika antara anak dan orang tua khususnya ibu. Rerata jawaban mereka seragam, "sek delok-delok, kudu neng kene, wis kerjo urong, wes due opo, ngesakne aku" dll. Jawaban tersebut saya dapatkan selama berproses di sini dan kenal banyak orang.
Saya telah menemui banyak ibu dari mulai ujung Blitar sampai Tulungagung. Atau dari titik pusat Kediri sampai Ponorogo, rerata jawaban mereka satu komando. Usut punya usut saya menemukan setidaknya ada 3 hal dari jawaban para ibu tersebut ketika anak gadisnya akan dilamar. Pertama, ibu akan bertanya tentang materi dan ini yang membuat stigma materialistik. Padahal apa yang diinginkan ibu merupakan realistis. Ia hanya ingin memastikan jika anak gadisnya akan baik-baik saja terutama dalam penghidupan. Lantas bagaimana dengan faktor agama? persoalan ini saya hampir tidak menemukan.
Kedua, sudah bekerja atau belum. Jawaban tersebut masih berkaitan dengan poin pertama. Kadang ibu begitu resah ketika anak gadisnya diminta lelaki yang belum dikenalnya. Apalagi persoalan pekerjaan yang belum tetap membuat mereka khawatir. Ibu memang si raja cemas dan selalu risau tentang kehidupan anak gadisnya. Padahal di dunia santri kadang tidak kenal istilah ini atau lebih tepatnya "penting yakin". Persoalan ini tentu masih bisa diperdebatkan.
Ketiga, khususnya orang Jawa sangat berat jika mendapat mantu orang jauh. Bagi ibu orang Jawa rasanya berat jika harus melepas anak gadisnya terlebih anak bungsu (anak terakhir). Para ibu merasa perlu untuk selalu dekat dengan anaknya. Maka dari itu persoalan jarak sangat menentukan. Mereka selalu berpikir mendalam bagaimana jika nanti anaknya dibawa ke seberang atau bagaimana ketika sakit, atau ketika berkunjung melihat cucu dll.
Dari jawaban tersebut saya makin percaya kata pepatah untuk mendapatkan anak maka taklukkan dulu induknya. Dalam hal ini ibu memang menjadi faktor penentu. Sedangkan dalam hal ini bapak cenderung lebih demokratis. Bapak biasanya menyerahkan sepenuhnya pada si anak. Karena bagi bapak tugas mereka adalah mendidik, menikahkan dan mengarahkan. Bapak cenderung berprinsip kaku, setiap anak telah membawa takdir nya masing-masing termasuk jodoh dengan siapa.
Dari faktor orang tua khususnya ibu lah yang membuat relasi anak, jodoh dan pekerjaan menjadi unik. Kadang di balik anaknya yang belum menikah bisa jadi karena faktor orang tua yang kolot. Orang tua bisa menyukseskan sekaligus menghambat harapan yang telah dibangun oleh anak. Tidak hanya itu faktor tradisi dan agama juga turut menyumbang permasalahan ini. Menjadi anak memang sulit terlebih menjadi ibu.
Terakhir saya harus hormati segala keputusan yang menjadi prinsip dasar seorang ibu. Saya juga harus paham bahwa ibu memiliki hak terhadap anak yang sudah mereka besarkan. Tapi ibu juga harus tahu bahwa mereka sama-sama memiliki kehidupannya sendiri. Mungkin saya juga akui bahwa tidak mudah menjadi ibu. Sampai kapanpun saya tak akan bisa menjadi mereka, melahirkan, membesarkan hingga melepasnya di pernikahan. Begitulah ibu, di manapun akan sama. Karena ini bukan tentang logika melainkan rasa. Rumusnya jelas mengapa demikian? karena perempuan (ibu) perasaannya mendahului logikanya.[]
the woks institute l rumah peradaban 13/2/24
Komentar
Posting Komentar