Woko utoro
Melihat kondisi perpolitikan saat ini begitu mengkhawatirkan. Layar kaca seolah tidak berhenti memberitakan kontestasi pemilu yang tinggal menghitung hari. Utamanya pilpres kita seolah ikut terlibat dalam panasnya persaingan. Waktu pilpres 2019 suasana panas sangat terasa terlebih karena hanya diikuti 2 paslon. Gesekan dan saling berhadapan adalah hal yang sulit dihindarkan. Tapi pilpres kali ini tahun 2024 sekalipun diikuti 3 paslon nyatanya juga sama panasnya.
Cuma dari kondisi tersebut ada beberapa pandangan unik mengenai pemerintahan saat ini. Ya kondisi pemerintah saat ini menjadi buah bibir di belahan negeri. Pasalnya penguasa selalu ikut campur untuk memenangkan paslon tertentu. Tentu hal tersebut menjadi topik yang mencemaskan. Dan benar saja berbagai kampus, beserta civitas akademiknya menyatakan ketidaksetujuannya pada penguasa karena dianggap tidak netral. Bahkan secara terang-terangan insan kampus tersebut memberi rapor merah pada penguasa di akhir masa jabatannya.
Bukan tanpa alasan mengapa nilai merah diberikan untuk penguasa saat ini. Pertama, penguasa yang dinahkodai Presiden Jokowi itu justru membunuh semangat demokrasi. Lewat kekuasaan mereka justru menampakkan kuasanya untuk mengamankan posisi. Paling mencolok adalah menggerakkan alat negara seperti MK dan KPU untuk meloloskan putranya yaitu Gibran yang juga Walikota Solo sebagai calon wakil presiden.
Kedua, penguasa dengan tanpa malu berada di balik pencalonan pasangan no 2. Padahal sebagai pucuk pimpinan seharusnya bersikap netral untuk tidak memihak ke paslon manapun. Kondisi itu justru terbalik bahkan penguasa cawe-cawe sampai begitu dalam. Akibatnya bagi sebagian orang hal itu membuat geram. Tidak salah jika berbagai kalangan menolak sikap tersebut.
Ketiga, atas nama aset dan pembangunan secara mutlak kekuasaan harus dilanjutkan. Maka dengan beragam cara program negara pun bisa dipolitisasi. Akibatnya saling klaim kebaikan dan keberhasilan menjadi suguhan utama. Masyarakat seperti tengah dininabobokan oleh ragam bantuan yang faktanya dinilai sebagai pemenangan.
Dari beberapa hal itulah berbagai reaksi bermunculan. Tapi seolah tak didengar segala macam warning tersebut hanyalah bualan belaka. Penguasa seolah menutup diri untuk tidak disebut bersalah. Terlebih mereka harus bertanggungjawab atas warisan yang tidak bermoral. Oleh karena itu dengan segala perasaan kita turut prihatin melihat demokrasi diinjak-injak secara halus. Dan pastinya kita sebagai rakyat tidak bisa berbuat banyak kecuali berdoa biarlah dengan cara Tuhan yang akan mengingatkan.[]
the woks institute l rumah peradaban 8/2/24
Komentar
Posting Komentar